Meeting dengan Tony Fernandes

Sulit untuk menolak godaan diri menuliskan cerita hebat yang mampir ke dalam hidup saya kemarin. Tidak ada rencana, tidak ada pikiran sama sekali, tapi meninggalkan kesan mendalam.

Pagi saya rasanya berjalan sedikit awal kemarin, Kamis, 5 April 2012. Saya punya janji dengan rekan kerja di kantor untuk sebuah selebrasi perusahaan. Kami mengakhiri sebuah fase hubungan harmonis bersama sejumlah pesawat tua. Bukan karena punya masalah atau apa. Tapi memang karena hubungannya sudah kadaluarsa. Si pesawat sudah terlalu tua dan cenderung menjadi beban ketimbang aset yang menguntungkan.

Di tengah perayaan, ketika sibuk mengambil gambar, seorang kolega memanggil. “Lix, ayo ikut ke ASEAN Office, dipanggil Tony,” ujarnya.

Waduh! Itu perintah yang tidak bisa ditawar rasanya. Keharusan sekaligus kebingungan yang melanda.

Setelah mengambil barang-barang yang masih tertinggal di meja kerja saya, segeralah saya meluncur bersama dua orang teman lain yang juga dipanggil ke tengah kota. Kami tiba sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Ternyata, agenda beliau mundur. Ada beberapa urusan lain yang harus diselesaikan terlebih dulu sebelum sesi Commercial Team –tim saya— dimulai. Meeting terjadi di ASEAN Office AirAsia yang terletak di Equity Tower.

Di awal pekan, saya juga punya meeting lain di kantor yang indahnya minta ampun itu. Dari ketinggian gedung, kita bisa dengan mudah melihat Stadion Gelora Bung Karno atau betapa hopelessnya Jakarta karena isinya sepanjang mata memandang di sebuah sore, isinya hanya deretan mobil yang memenuhi setiap ruas yang bisa dipenuhi dari ketinggian.

Pemandangan model begitu, biasanya hanya enak dilihat di awal. Selepasnya sudah membosankan karena memang sebenarnya tidak enak dilihat. Terlebih ketika harus membayangkan apa perasaan orang yang menjalani kemacetan itu.

Well, anyway, ketika mendung merangsek, giliran kami tiba. Tony menyelesaikan sesi meeting sebelumnya dan memanggil Commercial Team.

“Jadi, berapa lama waktu yang saya punya?” tanyanya langsung kepada Dharmadi, CEO kami yang juga ada di dalam ruangan dan menemani.

“Kamu harus cabut dari sini pukul 5.30,” kata Dharmadi. Tony harus mengejar penerbangan pukul 20.00 untuk kembali ke Kuala Lumpur. Jalanan Jakarta, selalu kejam di awalan akhir pekan. Terlebih jika waktu itu maju sehari. Bandara akan super padat dengan mereka yang mencoba untuk merangkai perjalanan liburan untuk beberapa hari.

“Ok, mari kita mulai,” kata Tony.

Dia mengawali dengan sejumlah urusan professional yang tentunya tidak akan saya tuliskan di sini. Maklum, bukan konsumsi orang banyak. Hehe.

Yang menarik, seperti biasa, Tony Fernandes adalah orang yang suka bercanda. Banyak candaannya yang membuat suasana cair dan seolah meruntuhkan rasa gugup beberapa orang yang baru pertama kali ada di dalam meeting bersama dia.

Saya sendiri, sudah beberapa kali bertemu dengannya. Tapi, baru sekali ini duduk di dalam meeting dan membahas urusan pekerjaan.

Yang tidak ketinggalan adalah urusan sepakbola. Ia membongkar rencana besarnya yang akan diumumkan ke publik. Bukan tentang siapa yang akan dibelinya musim depan atau bahkan tentang bagaimana QPR akan bertahan musim ini di EPL.

“Hidup saya selalu tentang bagaimana membangun sebuah hal. Saya menyukai prosesnya,” katanya.

Itu kenapa ia memilih untuk membeli QPR dan bukan Manchester United. “Saya tidak punya uang untuk membeli Manchester United,” celotehnya yang tentu saja disikapi dengan tawa sambutan seluruh ruangan.

“Tapi saya sedang membangun fasilitas latihan, stadion baru, dan banyak hal baru untuk QPR. Coba kamu lihat, beberapa bulan terakhir ini, siapa yang akhirnya jadi tahu bahwa ada klub namanya QPR?” tanyanya balik.

Ia benar. Saya adalah penggemar sepakbola. Saya tahu QPR itu apa. Tapi, beberapa teman saya yang ada di ruangan meeting itu awalnya bingung tentang apa itu QPR atau Queen’s Park Rangers.

“Kalau saya tertabrak bus besok, saya akan mati bahagia. Semua yang saya inginkan sejak kecil sudah terjadi,” katanya lagi.

“Dulu, waktu saya kecil, saya bilang sama ayah saya bahwa saya ingin memiliki sebuah perusahaan penerbangan. Tentu saja, ia mentertawai saya. Tapi sayang dia tidak melihat ini semua sekarang. Hidup saya isinya selalu bagaimana menjadi orang yang diremehkan. Tapi itulah senjatanya,” lanjutnya panjang lebar.

Terlepas dari material meeting yang memang menarik untuk ditunggu dan dijalani, perjumpaan dengan Tony kemarin itu dalam kapasitas professional, benar-benar membawa pengalaman baru untuk saya. Kata-katanya adalah senjata.

“Berapa sih saya bisa bayar kamu? Tapi ketika 10 tahun dari sekarang kamu menengok ke masa lalu dan bilang sama diri kamu, ‘Ah, saya terlibat di dalam revolusi itu’. Itu tidak bisa dibeli dengan uang, bukan?”

Lagi-lagi ia benar. Perjalanan saya sejauh ini menarik. Dan ada di dalam kapal yang sama dengannya, sungguhlah menyenangkan. Beberapa detik pertama meeting itu, sejujurnya, saya mencoba untuk mencubit diri sendiri untuk meyakinkan bahwa saya berdiskusi bisnis dengannya. Aha!

Sekali lagi, tidak pernah membayangkan ada di titik ini. Semoga kami bisa lebih menancapkan kuku dan mencapai apa yang menjadi keinginan sang jendral. Terima kasih, Tony! Sampai jumpa di kali berikut. (pelukislangit)

Kalibata City
6 April 2012
*Ketika masih senyum-senyum memandangi gambar di sini*

Advertisement

Published by Felix Dass

I'm searching for my future, my bright future.

3 thoughts on “Meeting dengan Tony Fernandes

Leave a Reply to Kikio Nugraha Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: