Langit Delhi masih gelap, sekitar pukul empat tiga puluh pagi. Saya bangun, bergegas mengambil barang-barang, dan langsung mengarahkan pandangan keluar. Pagi itu, saya harus menembus jalanan penuh debu kota itu dan menuju New Delhi Station.
Saya melakukan perjalanan pulang hari ke kota Agra. Menu utamanya Taj Mahal. Jadi, bangun pagi bukanlah sebuah persoalan berarti kalau ingin dibandingkan dengan apa yang akan saya lihat hari itu.
Kereta saya dijadwalkan pergi pukul enam tiga puluh pagi. Perjalanan akan memakan waktu dua jam. “Cukup untuk menambah waktu tidur,” pikir saya dalam hati.
Agra memang tidak berjarak begitu jauh dari Delhi, salah satu gerbang utama masuk ke India.
Kota ini terletak di negara bagian Uttar Pradesh, bersebelahan langsung dengan Delhi.
Jaraknya kurang lebih sepadan dengan Jakarta-Bandung. Bisa ditempuh dengan jalan darat, baik mennggunakan kereta api atau jalan tol panjang yang menghubungkan dua kota ini.
Penerbangan juga tersedia di antara dua kota ini. Tapi, saya sedang liburan. Jadi tidak ada alasan yang begitu mendesak untuk mengambil opsi terbang ke kota yang jaraknya dekat. Lagipula, sudah pasti tidak akan masuk di dalam budget perjalanan saya.
Kalau berjalan dalam rombongan kecil (maksimal tiga orang) ada baiknya menggunakan jasa kereta api. Tidak banyak yang bisa dilihat di kota ini selain tiga warisan dunia yang dilindungi dan diakui oleh Unesco; Taj Mahal, Fatepur Sikri, dan Agra Fort. Jadi, perjalanan pulang hari bisa dilakukan dengan mudah.
Tidak banyak yang saya ingat dari perjalanan New Delhi ke Agra Cantonment, stasiun kereta api utama di Agra. Saat itu, tidur adalah pilihan paling baik. Di gerbong yang sama, tampak sejumlah wajah asing yang sepertinya punya tujuan yang sama dengan saya.
Saya tiba di Agra Cantonment sekitar pukul sembilan pagi. Mata masih berat, namun Taj Mahal sudah menunggu.
Agra sendiri adalah kota yang bertolak belakang kondisinya dengan Delhi. Delhi adalah ibu kota pemerintahan India di mana urat nadi kehidupan di segenap penjuru negara penuh pesona ini dikendalikan. Sementara Agra? Agra tidak lebih dari kota super miskin yang tandus dan hanya dikenal orang karena keajaiban serta kisah legendaris dinasti Moghul berabad-abad yang lalu.
Kehidupan di Agra Cantonment pagi itu cukup menggairahkan. Ratusan orang tumpah ruah ingin memulai kehidupan mereka masing-masing.
Lewat penelusuran kecil-kecilan di internet, saya mendapatkan informasi bahwa ada jasa tur yang diselenggarakan oleh pemerintah lokal Agra. Tujuannya ke tiga tempat utama itu tadi; Taj Mahal, Fatehpur Sikri, dan Agra Fort.
Saya memilih untuk menggunakan jasa itu ketimbang harus ‘mengeteng’ menggunakan auto rickshaw atau taksi gelap yang mendominasi moda transportasi utama kota ini. Menggunakan rickshaw biasa jelas bukan merupakan pilihan karena untuk melihat tiga tempat itu harus menempuh jarak lebih dari tiga puluh kilometer.
Tarif yang ditawarkan oleh tur resmi pemerintah itu Rs. 1700, sudah termasuk ongkos untuk masuk ke tiga kawasan wisata itu. Sementara, kalau menggunakan kendaraan ketengan itu, tidak jelas harus menghabiskan uang berapa.
Mereka menentukan tarif berdasarkan tampang orang yang meminta jasa mereka. Jadi, sudah pasti harus mempertontonkan skill tawar-menawar yang baik, baru bisa mendapatkan harga yang cocok. Kalau tidak? Ya siap-siap saja untuk menelan pil pahit.
Dari segi jarak, Fatehpur Sikri terpisah jauh dari Taj Mahal dan Agra Fort. Tempat ini berada sekitar tiga puluh kilometer dari dua tempat yang disebut duluan itu. Oleh tur ketengan, biasanya tempat ini dilewatkan begitu saja.
Karena jauh, mereka akan membawa kita ke sejumlah tempat lain yang jaraknya relatif lebih dekat dengan Taj Mahal dan Agra Fort.
Kekurangan lain tur ketengan ini adalah ketidakhadiran seorang pemandu wisata profesional yang mampu menerangkan setiap sendi tiga tempat utama ini. Cerita-cerita di balik warisan dunia ini rasanya sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Jadi, kehadiran seorang pemandu wisata adalah sebuah hal yang mutlak diperlukan.
Atas nama mencari cerita itulah saya kembali berkunjung ke Agra. Di dua perjalanan ke India sebelumnya, saya juga mengunjungi Agra. Tapi, dari tiga menu utama yang sudah saya sebutkan di atas, saya belum pernah mengunjungi Fatehpur Sikri.
Fatehpur Sikri adalah salah satu pusat pemerintahan dinasti Moghul di jaman Akbar the Great di samping Agra Fort. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini dan sini.
Dua halaman itu seharusnya bisa lebih menjelaskan ketimbang saya menulis ulang ceritanya. Hehe.
Kota Agra terletaka di negara bagian Uttar Pradesh. Dibandingkan dengan Delhi –kota besar paling dekat dengan kota ini— Agra punya karakteristik alam yang hampir sama. Sama-sama tandus dan kering, serta penuh debu.
Hanya saja, di Agra, tingkat kemiskinan tampak begitu besar. Pengemis ada di mana-mana dan dalam wajah apapun; ibu-ibu, bapak-bapak, sampai anak-anak.
Saya kurang paham apakah mereka pendatang yang coba mengadu nasib di kota turis ini atau memang penduduk asli kota ini.
Kalau di cerita sebelumnya tentang pre-paid taxi, saya sudah menyinggung karakter orang lokal yang suka mengelabui turis, di Agra juga kejadian yang seperti ini.
Terutama ketika menjajakan suvenir. Mereka sangat agresif dan seringkali sangat menganggu.
Jadi, karena akhirnya memilih untuk membeli paket tur dari agensi pemerintah itu, seharian saya berkeliling Agra menggunakan bus ¾ yang kalau di Indonesia mirip sama Metromini atau Kopaja tanpa pendingin di udara panas yang beberapa derajat lebih tinggi dari apa yang saya temui di Jakarta.
Bus itu berkapasitas dua puluh delapan orang. Dengan konfigurasi kursi mirip persis dengan Metromini, sempit-sempit. Untungnya, hari itu yang mengikuti tur hanya sekitar dua belas orang. Jadi tidak harus berbagi ruang sempit seharian.
Tur pada waktu itu digawangi oleh seorang pemandu tur yang flamboyan. Hmm.. definisi flamboyan lebih ke wajahnya yang cukup stylish. Ia berada di usia lepas empat puluh lima, brewok yang putih, potongan dan gestur badan mirip dengan Rudy Wowor. Lengkap dengan kacamata hitam Rayban.
Di perjalanan, ia ditemani dua orang petugas lainnya. Satu supir dan satu lagi kondektur. Rasanya lebih dari cukup tiga orang itu untuk hanya mengawal dua belas orang.
Si pemandu flamboyan itu lumayan cakap dalam menceritakan sesuatu. Dia juga tidak segan-segan untuk bercerita dengan penuh kesabaran jika ada peserta tur bertanya tentang suatu hal. Terlepas dari dia memang sudah biasa bertutur kata tentang subyek turnya, ia juga merupakan seorang pencerita yang baik.
Dari stasiun ke Fatehpur Sikri, perlu waktu sekitar satu jam. Saya memilih untuk tidur. Tapi, terbangun juga ketika ada orang mengetuk-ngetukan palu ke badan bus. Ia ingin menawarkan jasa tambal ban!
Aneh bin ajaib! Orang sedang tur kota kok ditawari ban dalam? Jangan terlalu dipikirkan, ini bisa jadi hanya terjadi di India!
Urutan kunjungannya adalah Fatehpur Sikri, Agra Fort, dan Taj Mahal. Saya tidak ingin bercerita panjang lebar tentang dua tempat ini. Agra Fort bisa ditilik lebih jauh di sini. Dan Taj Mahal bisa ditilik di sini.
Di bawah ini adalah foto-fotonya. Biar lebih jelas, daripada saya harus bercerita panjang lebar. Hal-hal seperti ini menurut saya lebih enak untuk dialami ketimbang mendengarkan cerita orang.
Ini adalah Fatehpur Sikri:
Dan ini adalah Agra Fort:
Yang ini sudah pasti sangat dikenal luas:
Agra buat saya adalah tempat spesial. Itu kenapa saya merasa harus pergi sampai tiga kali ke kota ini. Keindahan tiga bangunan di dalam cerita ini sangatlah luar biasa.
Sore harinya, saya menemui diri saya terduduk lemas keletihan di satu pojok Agra Cantonment. Kereta pulang saya ke Delhi berangkat pukul delapan malam. Lumayan garing juga menunggunya.
Di perjalanan pulang, saya dipertemukan dengan seorang pemuda Israel yang juga melakukan perjalanan pulang hari ke Agra dari Delhi. Pemuda ini masih duduk di bangku sekolah. Usianya dua puluh empat. Ia menggunakan topi khas Yahudi di kepalanya. Dengan benda itu, saya mudah mengenali kalau ia adalah bangsa Yahudi, bangsa yang paling tidak ingin saya ajak beradu keahlian di dunia ini. Haha.
Si pemuda ini kaget luar biasa begitu mengetahui saya berasal dari Indonesia. Nama itu terlalu asing. Dia bertanya, “Indonesia itu di mana ya? Dekat dengan Singapura?”
Ini yang salah siapa ya? Negara saya yang kurang populer atau si pemuda Yahudi ini yang memang benar-benar tidak tahu.
Haha. Tapi, kendati saya suka dengan Agra, sepertinya di kunjungan berikutya, saya tidak akan mampir lagi ke kota ini. Sudah cukup untuk sementara waktu.
wew,,,
nice writings.
tujuan gw nantinya kalo ke India yah ke Agra. wish me luck!
🙂
Mas., mau nanya tour tiga tempat ini berapa lama waktunya. Saya tiba di Agra sekitar jam 8 pagi dan akan naik kereta lagi ke Jaipur jam 5 sore…
Aneh bin ajaib! Orang sedang tur kota kok ditawari ban dalam? Jangan terlalu dipikirkan, ini bisa jadi hanya terjadi di India!
>> nah ini bikin ngakak sewaktu baca 😀
Sorry yang tidak terjawab pertanyaannya. 🙂