Saya memilih kalimat di atas karena ingin mengemukakan secara vulgar prinsip di kepala saya untuk urusan traveling.
Keluarga saya bukanlah keluarga yang mantap dari segi ekonomi. Cukup iya, tapi kalau kaya raya, rasanya belum. Sulit malah untuk jadi kaya raya. Haha. Tapi ada satu hal yang selalu ditanamkan oleh orang tua saya, berwisata.
Sedari kecil, kami suka sekali berwisata. Datang ke tempat-tempat baru dan menyaksikan banyak hal baru.
Saya masih ingat ada lima buah seri bendera yang dibawa ayah saya ke rumah kami dulu. Seri itu membuat saya berpikir panjang bahwa saya harus bisa ke negara-negara yang ‘aneh’ bunyinya. Misalnya saja, Fiji. Atau Mauritius. Atau bahkan Kuba.
Ide dasarnya, ingin tahu, ada apa sih di sana?
Perjalanan keluar negeri saya pertama kali berlangsung tahun 1996. Waktu itu saya pergi ke Singapura, liburan sekeluarga.
Perjalanan itu adalah perjalanan perkenalan yang membuat saya seolah punya kontrak mati dengan hasrat berwisata dan berjalan-jalan.
Semenjak mulai punya duit sendiri, saya sudah mulai berani punya cita-cita di dalam diri. Setahun sekali, saya harus punya perjalanan besar.
Definisi perjalanan besar adalah mencapai tempat-tempat yang sebelumnya ada di dalam impian saya. Kebetulan saya beruntung. Kenapa beruntung, saya diberkahi persepsi dasar tentang mimpi yang cukup mantap. Mimpi menurut saya adalah hal yang bisa diangankan dengan punya dasar.
Misalnya saja, sekarang saya tidak punya mimpi untuk pergi ke Afrika Selatan. Karena memang jalannya berat. Tapi, saya punya mimpi untuk pergi ke Jepang. Karena jalannya sangat memungkinkan. Mungkin perjalanan besar berikutnya saya bisa pergi ke Jepang? Siapa tahu?
Mimpi yang terukur itu membuat saya punya alasan untuk bekerja keras memenuhi keinginan-keinginan saya.
Well, saya masih ada di fase harus membuktikan banyak hal pada diri sendiri. Jadi, sedikit atau banyak, saya dipengaruhi juga oleh hal itu.
Saya beruntung lagi untuk urusan waktu. Saya beragama katolik dan bangsa Indonesia punya waktu yang sangat lowong di bulan suci Ramadhan. Jadi, saya kurang lebih bisa punya waktu dua minggu setiap tahunnya untuk berjalan-jalan.
Sudah bisa ditebak, perjalanan besar saya pasti berlangsung di masa itu.
Sejak tahun 2008 yang lalu, saya mencoba untuk mengukuhkan tradisi diri sendiri ini. Tahun lalu saya pergi ke Thailand Selatan untuk menghabiskan liburan lebaran itu.
Sepulang dari sana, saya sudah merencanakan untuk pergi ke India tahun 2009 ini. Dan kalau tidak ada aral melintang, saya akan pergi ke India.
Caranya mudah: NIAT! Bukan duit, bukan rencana. Well, duit dan rencana sih mengikuti ya pasti. Cuma kalau sudah punya niat, pasti jalannya dilapangkan begitu saja.
Kalau kamu menyimak banyak artikel di blog ini nantinya, akan terlihat betapa fondasi paling dasar saya adalah niat, bukan duit dan perencanaan yang matang.
Hidup kamu hanya sekali. Saya percaya sepenuhnya ketika nanti saya menginjak usia 30an, pola pikir saya berubah. Saya pasti harus memikirkan banyak hal yang lebih ribet ketimbang apa yang saya pikirkan sekarang ini.
Bayangkan saja ketika kamu menginjak usia 30an nanti, kamu baru punya hasrat untuk keliling-keliling. Wah, repot pasti jadinya.
Belum harus mikirin pasangan maunya kemana, lalu akomodasi harus mantap karena tingkat ekonomi kamu sudah mulai mapan, belum lagi harus mikirin ijin dari kantor tempat kerja karena posisi juga sudah meningkat.
Intinya, semakin banyak yang dipikirin. Sementara, berjalan-jalan itu esensinya adalah berlibur, mencari suasana baru yang efeknya juga terasa untuk keseharian kamu berkarya. Yah, setidaknya dunia tempat saya berkarya sehari-hari ini memerlukan individu yang bisa punya ide bagus terus-menerus.
Saya hidup dengan kemampuan saya untuk beride, jadi balik lagi, semuanya ini dilakukan untuk menunjang keseharian saya berkarya.
Saya ingin ketika menginjak usia 30an, saya menulis blog seperti ini lagi tapi dengan subyek Inggris Raya. Haha.
Untuk saya yang ada di usia menjelang keduapuluh enam pun sebenarnya sudah bisa dibilang terlambat. Seharusnya di usia segini saya bisa dengan fasih bercerita tentang bagaimana rasanya memegang papan This is Anfield di Anfield Road, stadion Liverpool, tim sepakbola favorit saya.
Tapi, menyesal tidak pernah punya solusi konkrit, bukan? Lebih baik terlambat memulai ketimbang tidak sama sekali.
Ah sudahlah, saya sudah cukup meracau. Semoga dapat poin dari tulisan ini. Bisa jadi, di masa yang akan datang, saya yang akan membaca tulisan kamu.
Mengutip teman-teman di komunitas Lomography, “Don’t think just shoot.” Kalau untuk traveling, “Don’t think, just go (somewhere).”
Felix Dass
Rumah Cibinong
13 Agustus 2009
22.42
ikutttt pelukislangit 🙂 🙂
ingin melihat coretan-coretanmu yang bersembunyi di antara awan
dan jiwa bebasku akan berdansa di antara mereka..
*aih 😛
Mati gue. Ayo, kapan kita pergi? Besok aja apa?