Pertanyaan penting di sebuah pertunjukan musik: Siapa yang paling harus dipuaskan? Band yang main, penonton yang mengapresiasi atau fotografer yang sedang memenuhi egonya?
Akhirnya saya punya waktu untuk menulis tentang hal ini. Sudah terlalu lama rasanya saya terusik dengan keadaan yang sering terjadi di beberapa pertunjukan musik ketika pandangan orang yang ada di area penonton terhalang oleh orang yang seharusnya tidak dipandang. Rasa terusik itu kok makin tajam ya, kalau dipikir-pikir? Oke, mari kita memulai pemaparan ini.
Pertunjukan musik itu bisa terjadi karena campur tangan beberapa pihak. Ada organizer yang menyelenggarakan acara, sponsor, artis yang main, penonton yang menyaksikan, media yang meliput dan beberapa pihak lain. Masing-masing punya kepentingan dan niatan untuk ada di satu momen yang sama.
Layaknya sebuah benturan kepentingan, harus ada titik kompromi yang dicapai. Pembagian porsi dan toleransi sewajarnya bisa bertemu di tengah sehingga semua sama-sama enak. Ada satu kecenderungan buruk yang terjadi beberapa tahun belakangan ini di banyak pertunjukan musik: kehadiran fotografer amatir yang tidak tahu diri dengan perannya di dalam sebuah pertunjukan musik.
Amatir adalah sebuah fase yang pernah dilewati oleh sekian banyak orang yang kemudian jadi profesional di satu bidang tertentu. Amatir, kadang diasosiasikan dengan pemula atau malah mereka yang memilih untuk tidak menjadi terlalu serius di bidang itu. Singkat kata, amatir menjadi sebuah pengelompokkan yang ada di level profesional.
Saya adalah seorang fotografer amatir. Tapi kebetulan saya tahu diri. Saya memahami ilmu jurnalistik, sehingga kemudian bisa terbantu untuk jadi tahu diri. Saya tahu bagaimana cara menikmati pertunjukan musik dengan enak dan penuh unsur tepo seliro sehingga saya paham bagaimana etikanya dan sangat terbantu untuk kemudian jadi tahu diri dengan peranannya apa.
Saya pernah salah. Tapi saya belajar karenanya.
Di sebuah penyelenggaraan Bandung Berisik di pertengahan 2000 (saya lupa tahun berapa), saya punya sebuah tugas jurnalistik untuk menulis liputan festival itu. Ketika Rocket Rockers bermain –mereka ada di era debut album dan sedang jadi omongan hangat di scene lokal Bandung pada saat itu— saya sedikit maju ke pinggir panggung dan mengambil gambar Al Ucay yang sedang beraksi. Tanpa disadari, saya sudah masuk ke posisi di mana keberadaan saya mengganggu penonton yang menyaksikan dari depan.
Salah seorang crew Rocket Rockers waktu itu menghampiri dan menegor saya. Ia memperingati saya untuk segera ke pinggir dan menyudahi aksi tidak sopan saya itu.
Teguran itu tidak pernah saya lupakan sampai hari ini. Ego saya sebagai seorang oknum jurnalistik yang sedang melakukan tugasnya, ternyata merugikan orang lain; penonton yang ada di depan panggung.
Saat ini, ketika harus memotret sebuah pertunjukan, saya akan selalu mengecek di mana posisi saya berdiri. Apakah saya mengganggu orang lain di sekitar atau tidak.
Semua orang pernah salah. Tapi bagian terbaik katanya adalah bagaimana bisa memperbaiki diri untuk tidak melakukan hal yang sama di masa yang akan depan. Di kasus saya, pelajaran itu harganya mahal. Makanya saya selalu mengingat kesalahan bodoh itu sampai hari ini.
Teknologi hari ini membuat semua orang bisa memilikinya selama punya uang untuk membelinya. Akibatnya, seringkali sebuah standar proses berkarya terbolak-balik. Masing-masing orang punya hak untuk menentukan mana yang sesuai dan paling cocok dengan preferensi pribadinya. Tapi ada yang tidak pernah berubah: Bagaimana menghargai kepentingan orang lain yang ada di sekitar pada saat proses berkarya itu dijalankan.
Semua Orang adalah Fotografer untuk Dirinya Sendiri
Pernah datang ke sebuah pertunjukan musik dan menemukan iPad segede gaban dijadikan alat untuk memotret panggung?
Itu pemandangan yang lazim terjadi dan puji tuhan sudah berkurang belakangan ini karena perkembangan gadget yang semakin cepat. Tapi, pernah mengecek kenapa orang mau membela membawa iPad yang sama sekali tidak praktis untuk kemudian mengeluarkannya di tengah keramaian demi sebuah proses dokumentasi yang akan dinikmati secara personal?
Padahal, foto yang lebih bagus, mungkin akan seliweran setelah pertunjukannya berlangsung. Bisa minta sama penampil yang punya fotografer resmi atau bahkan mencomot dari apa yang ada di media setelahnya.
Bukan itu persoalannya, orang lebih mau mendokumentasikan sesuatu dengan unsur personal. “I was there, at the concert,” begitu mungkin pikir orang banyak. iPad, salah satu gadget paling populer di jamannya, adalah salah satu alat yang mampu menjawab kebutuhan ini. Jadi, nilai ribet dan berat, bisa dikalahkan oleh kepentingan yang lebih besar di awal paragraf ini.
Era sudah berubah dan kita harus bisa kompromi. Saya juga sering melakukan itu dengan ponsel saya. Untungnya saya orang yang lumayan praktis kalau berurusan dengan gadget, jadi ponsel saya tidak besar dan masih muat di kantong. Ketika pertunjukannya bagus, saya akan mengambil gambarnya dan mengirimkannya ke sejumlah orang dekat untuk membagi pengalamannya. Itu wajar dan telah menjadi bagian dari cara manusia berkomunikasi dewasa ini.
Memang dunianya sekarang seperti itu. Kita harus bisa kompromi. Tapi pengertian kompromi adalah mempertemukan kepentingan sejumlah pihak, bukan membela kepentingan satu pihak saja. Itu yang kadang dilupakan oleh banyak orang.
Oh, you’re a photographer? So what?
Ok, kamu sekarang punya legitimasi untuk membawa berbagai macam jenis kamera ke dalam arena pertunjukan. Urusan ribet atau tidak, itu menjadi tanggung jawab masing-masing orang. Tapi, hasrat untuk memotret memang kadang tidak bisa dikontrol.
Seringkali, tanpa sadar, fakta ini menyerang kepentingan yang lebih besar. Saking asyiknya mengambil gambar, kadang suka lupa bahwa pergerakan menganggu orang lain. Gadget yang segede gaban sudah pasti menganggu pandangan orang di belakang, apalagi gestur asyik sendiri yang membuat diri lupa ada di mana.
Yang paling apek kalau sampai lupa bahwa kepentingan paling utama ada di sana adalah menyaksikan pertunjukan musik yang sedang terjadi. Alih-alih menonton, malah sibuk mendokumentasikannya. Malah yang lebih sedihnya, tidak tahu nanti dokumentasinya akan dibuat apa. Masih mending kalau dijadikan tulisan blog atau apalah yang bisa dibagi ke orang banyak. Jika hanya disimpan sambil dipandang-pandangi, wah kebayang ongkos mendapatkan gambar itu sampai harus merugikan orang lain?
Orang yang lupa kepentingan itulah yang kadang menyebalkan.
Buat saya pribadi, kamu masih amatir level awal kalau belum bisa bertindak atas dasar kepentingan yang belum dikejar. Tujuan saja belum jelas, sangat wajar apabila tidak mengerti sisi etika yang harus dijunjung tinggi.
Etika adalah hal lain lagi yang harus disoroti dalam rangkaian kejadian seperti ini. Orkestra pertunjukan musik kan tadi sudah disinggung mempertemukan kepentingan banyak pihak, harus ada titik kompromi dan lain sebagainya. Yang juga penting untuk dipahami adalah bagaimana kamu harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Bukan keadaan yang harus menyesuaikan diri dengan kamu.
Saya pernah ngobrol serius dengan teman saya, Bunga Yuridespita, yang kebetulan sedang merintis karir fotografinya. Saat ini, ia menjadi fotografer Sore. Kami membahas sebuah seri fotonya yang menurut saya kurang emosi. Kadar hasilnya tidak sedahsyat karya-karyanya yang penuh emosi.
She was having a bad day at the office, makanya fotonya tidak sesuai standar. Satu pertanyaan yang saya ajukan kepadanya adalah, “Apakah elo melakukan recce sebelum pertunjukan dimulai?”
Ok, menurut Wikipedia, recce penjelasannya adalah seperti ini:
“Recce is a military term that has been borrowed by media production in the United Kingdom and New Zealand, derived from “reconnaissance” in the noun sense and “reconnoitre” in the verb sense. It refers to pre-filming visit to a location to work out its suitability for shooting, including access to necessary facilities and assessment of any potential lighting or sound issues, and is closely related to location scouting.”
Ia melakukan prosedur standar; mengelilingi venue, melihat sekitar, mengamati keadaan dan berpikir peralatan mana yang harus digunakan dan bagaimana setelan kamera yang harus dipakai untuk mengabadikan pertunjukan. Ia juga menggambar sudut-sudut yang dianggap potensial, melihat konfigurasi pemain band di atas panggung dan sejumlah tetek bengeknya.
Terlepas dari hasil yang kurang memuaskan, ia telah melakukan sebuah proses standar yang harus dilakukan oleh seorang fotografer yang ingin melakukan tugasnya; menyesuaikan diri dengan lapangan kerja hari itu.
Atau contoh lain pernah kejadian pada Soleh Solihun, komedian yang dulu merupakan seorang jurnalis. Soleh sangat menguasai bahan ketika melakukan sebuah wawancara, kendati tidak pernah punya daftar panjang pertanyaan di tangannya. Karena ia menguasai bahan, jadinya obrolan selalu enak dan kontekstual.
Riset adalah kunci. Dua contoh di atas menggambarkan bagaimana sesungguhnya kamu, baik sebagai fotografer atau penulis, sebenarnya hanya merupakan pemain kecil di dalam sebuah orkestra yang besar. Ya, kamu menyumbang warna, tapi kalau kamu tidak ada, ya orkestranya masih akan jalan. Karena menu utamanya bukan kamu.
Kuncinya adalah kamu yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan, bukan keadaan yang menyesuaikan diri dengan kamu.
Kamu Bukan Pemain Utama, Kamu Hanya Pelengkap
Cara paling mudah untuk tidak menganggu orang lain adalah menyiapkan diri kamu menghadapi kondisi yang mungkin terjadi di lapangan. Kalau panggungnya jauh, ya bawalah lensa panjang. Jadi, biar lensa panjang kamu yang mendekat ke obyek, bukan kamunya yang maju.
Coba contoh fotografer sepakbola. Karena mereka tahu akan memotret obyek yang selalu bergerak dan jaraknya jauh dari tempat mereka bekerja, peralatannya disesuaikan dengan kondisi itu. Mana ada fotografer sepakbola menggunakan lensa kit ketika harus memotret pertandingan yang sedang berjalan. Untuk mengambil sebuah tendangan penjuru saja pun, bisa jadi tidak cocok.
Tapi lihat fakta, apakah mereka pernah menganggu pandangan orang yang menyaksikan pertandingan itu? Baik mereka yang punya tiket di dalam stadion atau mereka yang menonton di televisi.
Pertunjukan musik, terlebih yang lokal, sebenarnya tidak punya alasan untuk tidak bisa menikmati kenyamanan seperti ini. Logikanya sama kok.
Fotografer profesional, biasanya punya berbagai macam alat untuk bekerja. Nah, mereka ini biasanya menyesuaikan diri dengan keadaan, karena sadar bahwa mereka bukan pemain utamanya. Pemain utama dalam sebuah pertunjukan musik adalah orang yang bermain di atas panggung dan penonton yang membayar tiket untuk masuk ke dalam pertunjukan itu.
Catat: Pemainnya bukan kamu yang bawa kamera ke dalam pertunjukan musik untuk memotret. Jadi, janganlah mencuri perhatian layaknya kamu bintang utamanya. Pemain utamanya adalah mereka yang bayar tiket dan yang main di atas panggung.
Mereka paham bahwa mereka tidak boleh mengganggu kedua belah pihak ini. Pengertian ini yang, sayangnya, tidak bisa diaplikasikan oleh banyak orang.
Ada banyak contoh buruk keadaan yang membuat saya lumayan mangkel. Ada tiga contoh buruk, yang satu kebetulan membuat saya turun tangan langsung dan berujung pada sebuah tingkat kepuasan yang besar.
Sekitar setahun yang lalu, saya kembali ke arena manajemen panggun bersama Rumahsakit. Saya jadi manajer panggung untuk satu pertunjukan di Epicentrum, Jakarta Selatan. Hari itu, saya bertugas bersama sejumlah teknisi dan dua orang fotografer; yang satu resmi, yang satu sedang mengambil gambar untuk proyek pribadinya. Keduanya merupakan orang yang sangat taat pada disiplin produksi, maklum anak sekolahan.
Ketika Rumahsakit bermain, tiba-tiba fotografer acara dengan asyiknya naik ke sisi kanan panggung dan memotret Miki, pemain kibor Rumahsakit dari dekat. Dari seberang, saya memberi kode kepadanya untuk minggir. Tapi ia semacam tidak menghiraukannya. Tanpa menunggu lama, saya memutar dan langsung menyambanginya.
Saya langsung menghardiknya.
“Bos, elo nggak bisa foto gitu dong. Lo liat tuh fotografer gue ngambilnya dari pinggir. Elo ganggu orang yang nonton,” cerocos saya.
“Saya dari yang buat acara, bos,” timpalnya.
Makin panaslah saya mendengar jawaban itu. “Gue nggak peduli elo dari mana, tapi kalau mau ambil gambar jangan dari depan pemain gue yang lagi main,” balas saya.
Dengan sedikit tekanan, ia minggir dan tidak mengulangi perbuatan itu. Kalau memang ingin mengambil dokumentasi, sudah sewajarnya harus berusaha sedikit keras memutar otak mengakali keadaan. Tapi tidak dengan naik ke atas panggung. Saya mengirim pelajaran untuk orang itu.
Contoh kedua datang ketika saya menghadiri acaranya Morfem yang menampilkan Monkey to Millionaire, Morfem, Barefood dan band menarik asal Surabaya, Cotswold di EcoBar, Kemang.
Saya datang terlambat karena harus menghadiri penampilan spesial Rabu terlebih dahulu di Coffeewar yang berada tidak jauh dari EcoBar. Morfem dan Cotswold telah bermain dan saya melewatkannya.
Pada saat Barefood bermain, seorang perempuan dengan kamera terlihat sangat asyik berdiri di depan panggung. Suasananya luar biasa menarik malam itu. Barefood bermain dengan energi yang sangat besar dan penonton pun seolah meresponnya dengan super baik. Perempuan ini nampak menikmati permainannya dengan kamera yang ia sandang.
Awalnya memotret dari depan tapi perlahan naik ke atas panggung. Tadinya jongkok dan lama-lama mulai berdiri. Gayanya sok asyik, mungkin karena ia terlalu banyak minum. Tapi, ia mungkin lupa atau tidak sadar bahwa ia sudah menganggu penampilan band yang sedang main.
Satu-satunya cela Barefood malam itu adalah kehadiran perempuan ini di atas panggung, berdiri sama tinggi dengan pemain band yang sedang menyalurkan energinya. Apa yang ia lakukan? Membelakangi penonton, memotret dan kemudian mematut-matut di atas panggung melihat hasil fotonya.
Gila kan? Benar-benar meletihkan dan bikin emosi melihat orang seperti itu. Dia jelas tidak paham bagaimana seharusnya aksi fotografi panggung dilangsungkan.
Saya dan sejumlah teman di sisi kiri panggung menggumam dan membuatnya jadi bercandaan. Karena memang dia tidak enak dilihat malam itu, benar-benar menganggu.
Contoh ketiga datang ketika We The Fest akhir bulan lalu. Kejadiannya berlangsung ketika The Experience Brothers bermain. Band ini mengawali rangkaian We The Fest, mereka bermain ketika matahari masih terik.
Adegan pertama berlangsung ketika seorang videografer yang disewa jasanya oleh penyelenggara naik ke panggung dan mengambil gambar Daud Sarassin, pemain drum The Experience Brothers, dari dekat. Dari dekat itu dari depan mukanya persis. Itu berarti si videografer mengambil gambar Daud dari depan bas drum yang sedang ia mainkan. Gila bener itu, luar biasa tidak nyaman melihatnya. Sudah bandnya irit personil, ini pakai segala dihalangin lagi.
Adegan kedua muncul ketika seorang fotografer yang merasa super ok, menyelinap dari pinggir panggung dan langsung naik ke atas panggung dari sisi pinggir panggung. Dia mengulangi apa yang sudah dilakukan si videografer tadi. Untung tidak berlangsung lama, seorang panitia mengusir dan memintanya untuk segera turun.
Tiga contoh di atas adalah pengalaman personal. Saya yakin, ada banyak juga orang yang punya pengalaman sejenis. Kalau kamu adalah seorang fotografer dan sering melakukan kebodohan seperti ini, jangan khawatir, ada ruang untuk berubah kok.
Yang penting, kamu mau menyadari bahwa kamu bukanlah pemain utama dalam sebuah pertunjukan musik. Punya ID dan memotret di dalam pertunjukan itu tidak lebih terhormat ketimbang mereka yang bayar untuk masuk dan turut memastikan bahwa keseluruhan acara bisa berlangsung karena ada sumbangsih uang dari kantong mereka. Apalagi kalau kamu hanya fotografer iseng-iseng yang dasarnya hobi dan belum tahu akan melakukan apa dengan foto-foto yang kamu hasilkan.
Sekali lagi saya mengulang: Ingat! Fotografer tidak pernah menjadi pemain utama di sebuah pertunjukan. Jadi, bukan merekalah yang seharusnya mendapatkan perhatian orang banyak. Semoga keadaan lebih baik di masa yang akan datang. (pelukislangit)
Kedai Tjikini – 3 September 2014
Ditulis dalam tiga sesi berbeda





Leave a reply to f Cancel reply