*) Untuk Joko Widodo dan fenomena Jokowi adalah kita

Processed with VSCOcam with f2 preset

Jakarta di malam hari, selalu bercahaya. Seperti biasa, lampu-lampu menjadi teman setia yang mengawal perjalanan pulang ke rumah. Kota ini bisa diakali, dengan memilih jam-jam tertentu untuk berkendara atau menggunakan rute yang tidak populer untuk mencapai rumah. Ia bisa ramah.

Dan langit Jakarta malam ini jadi terlalu personal untuk saya. Di balik riuh rendah degup jantung mengejar waktu, melintasi jarak lebih dari 40km selepas makan enak bersama teman-teman di kantor dan niat super besar untuk datang ke kawasan padat Tebet, saya menemukan sebuah fakta politis yang luar biasa bagus untuk dikenang.

Saya mengulangi kalimat yang sama berulang-ulang, kepada sejumlah orang berbeda yang saya temui di Ruang Rupa, sebuah ruang publik yang malam ini bersolek untuk sebuah kepentingan politik praktis berlatar masa depan Indonesia.

Processed with VSCOcam with m3 preset

Kalimatnya berbunyi seperti ini:

“Mungkin, ini perang terhebat yang kita hadapi setelah 1998.”

Saya memilih kata “kita” dengan sadar. Kata itu dalam pengertian dasar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang bisa dilihat di http://www.kbbi.web.id punya arti seperti ini:

pronomina persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara; 2 cak saya; — orang cak kita

Saya dan orang yang diajak bicara. Saya dan yang diajak bicara, sedang terlibat dalam sebuah perang besar setelah periode jatuhnya Soeharto 1998. Pemilu presiden tahun 2014 ini mungkin merupakan sebuah fenomena politik yang layak direkam oleh sejarah Indonesia, terlepas dari siapa pemenangnya nanti.

Yang menarik adalah latar belakang saya dan orang-orang yang diajak berbicara malam ini. Saya dan mereka, hidup di tengah dunia kreatif, dunia yang menjadikan kreativitas dan kebebasan sebagai panglima tertinggi.

Kita bisa bicara panjang lebar tentang sisi pemahaman konsep itu, tapi rasanya tempatnya bukan di sini. Simpan saja itu untuk obrolan bertemankan kopi lain kali. Susah menggunakan bahasa teks, karena semuanya pasti meyakini bahwa proses masing-masing ke titik di mana kami berdiri saat ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang perlu dedikasi dan keberanian tinggi.

Processed with VSCOcam with m5 preset

Saya merupakan seorang penulis. Kebanyakan yang saya tulis adalah perkara musik. Orang-orang yang saya ajak bicara tadi, punya latar belakang masing-masing: Ada yang anggota band independen yang kerjanya keluar negeri terus, seniman lepas tapi penyiar radio kesohor di Jakarta, pekerja agensi iklan yang sedang menegosiasikan kepentingan idealismenya, manajer band, fotografer lepas, bekas anggota lembaga kesenian kota, pekerja NGO yang super peduli sama urusan people empowerment, pembuat film, produser radio yang juga MC kondang bermulut sampah yang mirip dengan timer di Terminal Kampung Rambutan dan bahkan seorang perempuan super menarik yang tanpa rencana bertemu di tempat tadi.

Processed with VSCOcam with f2 preset

Orang-orang yang tadi saya ajak bicara adalah mereka yang punya karakter mirip seperti saya; perlu melakukan sesuatu yang disukai sebagai sebuah upaya untuk menerapkan konsepsi manusia bebas, yang perlu berkarya untuk mengisi perjalanan hidup. Kami berlatar belakang kepercayaan pada seni –apapun disiplinnya— yang membuat manusia punya nilai penting yang harus direkam dan dirayakan.

Persoalan berkarya, seringkali hanya pada level kepuasan pribadi yang paling banter menghasilkan senyum dan obrolan menarik dengan orang-orang yang tertarik. Atau, ada beberapa dari mereka yang memang bisa memenuhi ongkos hidup sehari-hari dari profesi berkeseniannya. Mungkin juga, ada yang seperti saya yang memang memilih untuk tidak menjadikan dunia seni sebagai sandaran hidup utama karena alasan ingin terus menerus merdeka berkarya tanpa dibebani argo pemasukkan yang harus dipenuhi setiap bulannya.

JKW Ruang Rupa (4)

Sehari-hari, saya adalah seorang buruh korporat yang sedang mengawal sebuah start up di dalam perusahaan. Saya sudah memasuki tahun kelima bekerja di sini, telah melihat banyak hal dimainkan dan diracik dengan gaya pribadi. Ada ruang yang besar untuk berekspresi, makanya saya betah. Paling gampang untuk memahami kondisi hubungan saya dengan korporasi yang mempekerjakan saya adalah pakaian sehari-hari yang dikenakan ke kantor, gaya rambut, tato dan sepatu warna-warni yang melekat di kaki. Pekerjaan buat saya adalah sebuah proses berkarya yang menghidupi; baik dari segi finansial atau kepuasan batin pribadi.

Untuk menjaga ‘kewarasan’, saya tetap menulis. Fungsi menulis untuk saya adalah sebuah sarana bersenang-senang mengekspresikan diri. Uang selalu jadi bonus. Kadang-kadang kalau suka, bisalah uang-uangan dipinggirkan. Saya ada dalam kondisi aman; hidup tidak berkekurangan, apa yang diinginkan bisa kejadian dengan kerja keras dan punya garansi sosial.

Keseimbangan antara hal-hal yang memerdekakan ini, adalah sebuah kondisi yang tidak dialami oleh saya sendiri. Orang-orang yang saya ajak bicara tadi, kebanyakan punya kondisi yang setipe. Kami sedang tidak dalam kondisi terancam kehidupannya. Ada banyak orang yang mirip dengan saya di luar sana. Satu yang pasti: Sulit untuk kami kaya raya dari segi materi.

Apapun peristiwa publik yang terjadi di sekitar kami dalam satu-dua bulan ini, tidak akan membuat hidup personal berubah banyak. Kenapa? Karena kami terbiasa jadi manusia-manusia yang independen, yang percaya bahwa hidup selalu harus diisi dengan kerja keras. Kalau tidak mau kerja, ya jangan harap yang diinginkan bisa jadi kenyataan. Kalau mau punya keinginan atau mimpi yang besar, ya harus mengisinya dengan harapan dan daya upaya.

Processed with VSCOcam with f2 preset

Kami tidak tergantung pada pemerintah yang kebanyakan omong kosongnya. Kami tidak tergantung pada saluran-saluran arus utama yang punya sekian banyak syarat dan ketentuan. Dan kami masih punya waktu untuk menenggak sebotol bir di akhiran hari sambil bersenda gurau dengan kawan-kawan terdekat. Kami bahagia dengan karya yang kami jalani dan isi. Kami bisa berdiri di atas kaki sendiri.

Tapi, satu-dua bulan ini ternyata merupakan sebuah periode ‘perang’ yang sangat melelahkan. Sikap politis yang tadinya bisa dipinggirkan dan disimpan secara personal, mendadak minta dikeluarkan dan diperhatikan. Politik praktis menjadi sebuah adegan kecil yang harus dimainkan di tahun 2014 ini.

Saya sedang mendokumentasikan sebuah peristiwa penting di masa hidup saya di mana pandangan politis pribadi harus dikolektifkan dan dijadikan sebuah bola salju yang siap berperang menebas lawan yang berseberangan.

Tentu saja, kamu tolol bukan main kalau mengartikan kalimat terakhir di paragraf sebelum ini sebagai tebasan fisik, ancaman intelektualitas atau bahkan menginjak-injak ideologi orang. Tidak, kami bukan orang yang seperti itu. Jadi berbeda itu biasa saja, sangat bisa dihormati. Tapi punya hasrat untuk didengar dan direnungkan itu adalah kebutuhan dasar manusia, itu yang sedang diperjuangkan saat ini.

Orang-orang yang hadir di Ruang Rupa malam ini kebanyakan merupakan pendukung Joko Widodo, calon presiden nomor urut 2 yang sedang adu kencang dengan Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 1. Bisa dipahami, karena memang acaranya adalah sebuah pertunjukkan politik yang digelar dengan elegan, kreatif dan sesuai dengan gaya si empunya tempat.

Processed with VSCOcam with g3 preset

Menunya adalah sebuah pameran kreatif yang menjadikan sosok Joko Widodo sebagai obyek ekspresi. Ada beberapa karya yang memang didedikasikan untuk mendukung Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia lewat pemilu nanti. Dan itu merupakan sebuah teriakkan politis yang luar biasa hebat.

Teman-teman bicara saya tadi, sepanjang perkenalan saya dengan mereka, jarang sekali berbicara politik. Apalagi politik praktis. Mungkin paham “Well, we don’t belong to politics” dianut dengan azas penerapan yang keras. Tapi memang begitu adanya sebelum pencalonan Joko Widodo.

Joko Widodolah yang akhirnya membuat kami bersuara. Ada banyak penyebab kenapa itu terjadi secara kolektif. Sebagiannya adalah sebagai berikut:

Pertama, mungkin karena orang yang kami dukung etos kerjanya jelas. Orang-orang seperti kami, percaya bahwa kerja keras adalah kunci dari keberhasilan. Kerja dulu, baru menghasilkan. Bukan menghasilkan berapa, lalu harus kerja gimana. Cara berpikir memandang output inilah yang jadi pembeda.

Kedua, ia paham industri kreatif, yang ternyata memberikan penghidupan yang lumayan ok untuk orang-orang yang berkarya di dalamnya. Kami akrab benar dengan cerita Joko Widodo yang datang tiba-tiba ke Festival Rock In Solo atau nonton Metallica. Beberapa dari kami, melihatnya dengan mata kepala sendiri. Bahkan Slank pun turun gunung dan jadi begitu politis. Siapa yang bisa membeli Slank dan Iwan Fals di negeri ini untuk sebuah aksi politik? Tidak ada, bukan?

Processed with VSCOcam with g3 preset

Kami tidak bergantung pada tangsi-tangsi pemerintah untuk berkarya. Paham “Pasar bisa diciptakan” milik Efek Rumah Kaca, benar-benar terjadi di sini. Kondisi dunia seni yang ada di sekitar saya, sebenarnya baik-baik saja. Pasarnya sudah lumayan jadi dan bisa menghasilkan efek ekonomi yang mendukung keberlangsungan jangka panjang aktivitas-aktivitas di sini.

Otorita yang baik, seharusnya bisa mengendus bahwa sektor ini bisa menjadi sebuah alternatif yang bisa menghidupi anak muda. Lihat band yang bisa hidup dari sistem merchandise yang baik, berapa untungnya per kaos? Atau lihat desainer grafis yang ternyata bisa menjadi vendor tetap klub bola kelas dunia dan hanya berhubungan secara ekonomis lewat kiriman saldo di rekening bank tanpa pernah bertemu. Hebat, bukan? Apakah pemerintah pernah campur tangan sebelumnya? Nyaris tidak.

Tapi ketika itu bisa dibuktikan sebagai sebuah profesi yang padat karya dan guna, kenapa tidak didorong untuk maju? Itulah esensi dari pengembangan ekonomi kreatif dan peletakkannya dalam kondisi riil ekonomi negara.

Processed with VSCOcam with m3 preset

Kondisinya sendiri menurut saya seru; bagus kalau otorita mau ikut campur, tapi kalau tidak ya tidak mengapa. Toh kami bisa jalan sendiri. Kami tetap mengacungkan jari tengah kepada elemen otorita yang tidak becus. Karena esensi otorita itu adalah pelayan masyarakat.

We still fuck you big time if you’re screwing with us!

Ok. Cukup dengan termin “Kami” dan mari kembali ke ruang personal.

Jujur saja, ketika tulisan ini ditulis, saya sudah muak dengan kampanye yang dilakukan oleh kedua kubu calon presiden. Waktu kampanye terlalu lama dan level kesehatannya sudah menurun jauh. Segala cara nampak sudah dihalalkan.

Processed with VSCOcam with f2 preset

“Mungkin kleniknya juga sudah main ya,” kelakar saya pada seorang teman tadi.

Waktu kampanyenya terlalu lama. Itu membuat 9 Juli 2014 yang tinggal enam hari lagi, terasa begitu lama. Saya memilih untuk tidak menyalakan televisi atau membaca laporan berita yang isinya kampanye yang mungkin menjatuhkan kubu yang berseberangan.

Sudah keterlaluan. Tapi di saat yang bersamaan senang sekaligus bangga bahwa calon presiden yang saya dukung punya gaya yang luar biasa menarik.

Ruang Rupa malam ini menyajikan sebuah orkestra terbuka yang memberikan ruang kolaborasi kepada orang-orang yang datang untuk menyuarakan harapan mereka. Berharap, adalah pijakan yang baik untuk sebuah perjalanan maju ke masa depan. Saya sudah menerapkan prinsip ini lebih dari dua puluh tahun dan kebanyakan berhasil di level personal.

Itu yang membuat saya merasa dekat dan tidak punya jarak dengan pilihan politis saya tahun ini. Harapan itu ada di sana. Saya selalu percaya bahwa ia bukan orang yang akan menyelesaikan masalah dengan instan. Tapi ia adalah orang yang akan memimpin kita untuk mau menyelesaikan masalah. Dan memutus hubungan lama dengan masa lalu yang kadang membuat kita enggan untuk menyelesaikan masalah itu.

Harapan adalah sebuah hal intangible yang mahal sekali harganya. Keberanian untuk punya mimpi kolektif dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing orang itulah yang ada di dalam sosok Joko Widodo.

Orang-orang di Ruang Rupa malam ini semacam punya banyak harapan yang digantungkan untuk masa depan bangsa ini. Karena memang, yang perlu kita ukir bersama adalah masa depan, bukan masa lalu yang sudah tidak bisa diubah. Mau sampai lebaran kuda pun, kasarnya, masa lalu akan tetap seperti itu. Ia tertulis manis di buku sejarah dan tidak bisa diganti.

JKW Ruang Rupa (1)

Harapan itu perlu diperjuangkan dan dipertahankan ketika goncangan semakin kencang. Bisa kalah, dan punya peluang besar menang. Tapi yang penting, mari membantunya bertarung tanggal 9 Juli 2014 nanti. Itu kenapa saya menyebut kondisi ini sebagai perang terhebat yang harus dijalani setelah 1998 yang traumatis itu.

Jeleknya, segala cara cenderung dihalalkan. Hari ini kita sudah mulai mendengar drama-drama yang sudah masuk ke babak lanjutan. Dan itu, tidak pernah membuat saya merasa nyaman sebagai orang Indonesia.

Well anyway, Tuhan tidak tidur. Begitupun dengan alam raya. Manusia hanya bisa berupaya dan punya harapan, tapi kita tidak pernah tahu besok apa yang terjadi. Ada banyak resiko yang bisa dikalkulasikan, tapi tentu saja ada kejutan mengintai.

Processed with VSCOcam with f2 preset

Tugas saya dan kamu yang membaca tulisan ini adalah memilih. Apapun pilihannya, semua punya hak dan alasan untuk menunaikannya. Yang jelas, berusahalah untuk menggunakan hak pilihmu. Kalau memang mau tidak memilih, datanglah ke bilik suara dan coblos keduanya atau bikin suara kamu tidak sah.

Ucapkan selamat datang pada 9 Juli 2014. Senang bisa akhirnya memilih dan ambil bagian dalam salah satu pemilihan paling dramatis negara ini. Dan puji syukur masa kampanye yang noraknya bukan main ini akan segera berakhir.

Terakhir, yakinlah bahwa kodrat seni sebenar-benarnya adalah memfasilitasi keresahan. Jadi, jangan pernah bergantung pada otorita. Kata Yang Mulia Iwan Fals, “Jalan masih teramat panjang, mustahil berlabuh jika dayung tak terkayuh.” (pelukislangit)

3 Juli 2014
Mendokumentasikan fenomena politik yang seru sekaligus menjijikan.
Malam ini, saya membawa pulang kaos kampanye politik berlabel Gildan.
Bisa dipakai semoga sampai lima tahun ke depan.
Rumah Benhil, 02.23.

10 responses to “Perang Terhebat yang Kita Hadapi Setelah 1998”

  1. Reblogged this on DaramUdA and commented:
    Merinding, jika kau baca bersama hati..

  2. Saya suka sama tulisan2 pelukis langit. Confirmed jadi pembaca setia!

    1. Terima kasih sudah mampir dan membaca. 🙂

  3. Asyeeeek!!! jadi banyak belajar bagaimana cara menulis yang baik.. hehehe salam dari Lombok….

    1. Hehe. Belajar mah, tidak pernah berhenti. 🙂

  4. Reblogged this on White Paper and commented:
    Another worth to read

  5. Reblogged this on phylolanta and commented:
    Perang terhebat setelah 1998
    ^^

  6. BERGETAR, bola salju terus berjalan

  7. tergoda pokitik. hehe

  8. om, stiker-stiker itu (#pilihjokowi) bisa dipertanggungjawabkan tidak realisasinya??????????????????????????????????????

Leave a reply to Felix Dass Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Trending