Yang namanya pekerjaan, selalu punya tantangan. Ada drama dan halangannya masing-masing. Saya baru saja mencoba sebuah hal baru, sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebuah pekerjaan yang terlihat sangat sederhana, tapi begitu dijalani susahnya minta ampun: badut.
Ya, saya baru mencoba pekerjaan ini; jadi badut untuk ulang tahun Adelaide Matahari Samboh-Suharmoko, si kecil nan manis yang baru menginjak usia satu tahun. Badutnya pun tidak tanggung-tanggung: Barney. Kendati populer luar biasa untuk banyak anak kecil, nama ini sama sekali tidak populer untuk saya.
Ceritanya dimulai sekitar sebulan yang lalu, sebuah nama muncul memanggil di ponsel saya: Esther Samboh.
“Lix, tanggal 26-27 April kosongin waktu ya. Ada ulang tahun, rencananya mau buat di Si Boncel.”
“Ok. Aman. Gue kosongin ya, Mboh.”
“Um… Sekalian, Lix. Elo jadi Barney ya.”
“Ok. Ngapain gue nanti?”
“Hah? Serius lo mau?”
“Iya, mau gue. Buat Ada, apa sih yang gue nggak mau?”
“Serius lo mau, Lix?”
Esther keheranan dengan reaksi saya. Saya di sisi lain, tidak tahu sebelumnya Barney itu apa. Saya pikir hanya memainkan peran biasa. Buat anak-anak kecil, Barney ternyata sebuah sosok penting. Dan saya tidak memperhitungkan hal itu.
Keesokkan harinya, saya mencari tahu siapa itu Barney.
“Sial,” pikir saya dalam hati. Barney itu ternyata serius dan punya banyak gerakan khas yang tidak mudah untuk ditiru. Plus, kostumnya luar biasa menantang. Pastinya akan sangat panas ada di dalam situ.
Aditya Suharmoko, suami Esther, membantu meringankan beban saya. Suatu kali, saya ke rumah mereka dan kami menonton Barney bertiga; saya, Adit dan Ada. Lumayan untuk sebuah orientasi singkat tentang bagaimana Barney bergerak. Jadi lebih mudah membayangkan karena perut buncit saya. Setidaknya ada gambar standar yang terekam di kepala lebih dulu tentang sosok ini. Beruntung sedikitlah ada sesi ini.
Beberapa minggu kemudian, ancaman jadi semakin nyata. Adit dan Esther berhasil menemukan penyewaan kostum Barney. “Ok, ini makin nyata,” ucap saya lagi dalam hati.
Kemudian, saya mencoba kostumnya dan menghapus semua keraguan; Saya akan jadi badut demi Ada di hari ulang tahun pertamanya dan mencoba sebuah hal baru.
Ide sederhana itu lumayan menantang. Perasaan penasaran tentang apa rasanya menjadi badut sudah menggelayut di pikiran saya sejak menyaksikan video klip Ada Band –kebetulan juga namanya Ada— yang berjudul Manusia Bodoh. Begini penampakannya:
Di video itu, dikisahkan badut punya dua dunia yang berbeda; di depan layar mereka nampak menyenangkan tapi di belakang layar punya keresahan yang harus disiasati. Jadi, inginlah saya mencoba memahami hal itu.
Memainkan dua wajah dalam masa yang bersamaan sebenarnya sangat-sangat menantang. Itu yang ingin dibuktikan.
Plus, menghibur anak-anak itu rasanya memberikan kedamaian hati yang luar biasa menyenangkan untuk dijalani. Menggoyangkan pantat dan membuat mereka tertawa lepas, tentu tidak ada salahnya. Belum lagi kalau merekamnya dengan sempurna di dalam hati dan syukur itu bisa membuat mereka lebih bahagia.
Atas dasar itulah, saya mau mencoba. Setelah dijalani, ternyata luar biasa berat bebannya. Sudah harus punya dua dunia di saat yang bersamaan, ditambah lagi dengan beban menghibur yang sama sekali tidak mudah. Profesi ini, sangat sulit untuk dijalani.
Dalam kasus saya, memakai kostum saja sudah sebuah ujian tersendiri. Kostum itu kebetulan cocok dengan ukuran badan saya, jadi tidak ada masalah untuk ukurannya. Tapi, di dalamnya ada busa besar yang membentuk bentuk perut menjadi lebih buncit. Tidak sesak, tapi rasa panasnya luar biasa.
Saya menghabiskan satu jam di dalam kostum itu. Air keringat mengucur dengan deras dan itu juga lumayan bikin pedih. Bagian yang harusnya mulut ternyata adalah posisi mata saya. Pandangan jadi terbatas, saya hanya bisa melihat ke bawah. Tidak melihat ke depan sama sekali.
Bayangkan, saya harus menangkap ekspresi anak-anak yang jadi target, tapi tidak melihat muka mereka. Saya memutar otak. Beberapa saat kemudian, ketika udara panas sudah bisa dikendalikan, mulailah saya menggoyang-goyangkan pantat. Itu trik jitu. Adegan megal-megol itu bisa mencairkan suasana dengan segera. Dan itulah yang saya lakukan.
Ini contohnya:
Dan ini:
Satu jam terasa sangat lama dan saya kehilangan banyak sekali cairan. Setengah main, saya meminta istirahat dan minum dua gelas air dengan sangat cepat. Nggak pakai lama. Lalu, beraksi kembali.
Yang paling ngehe dari seluruh adegan itu adalah ketika sejumlah anak menemukan saya yang baru saja mengganti baju dan keluar dari kostum Barney itu. Untung bajunya sudah masuk ke tas pembungkusnya. Jadi saya berkelit.
“Kamu yang jadi Barney tadi ya?”
“Bukan.”
“Kamu kok, bohong ya?”
“Iya.”
“Ah, kamu bener yang jadi Barney kan?”
“Bukan”
“Bohong ya?”
“Iya.”
Saya bermain kata-kata. Saya bahkan jujur ketika saya berbohong kepada mereka. Hehe. Tapi, gila juga anak-anak ini, mereka bisa menebak penyamaran saya. Fiuh. Untung tidak berantakan.
Bercengkerama dengan anak-anak ini rasanya menyenangkan sekali. Membuat mereka tertawa, lebih menyenangkan lagi. Dan tentunya, senang bisa mencoba sesuatu hal yang baru. Walau belum tentu saya ingin mengulanginya lagi satu hari nanti. Tantangannya berat, walaupun –sekali lagi— menyenangkan.
Jadi Barney, itu luar biasa rasanya! Salut untuk mereka yang bekerja sebagai badut dan tetap menjalaninya dengan hati senang. Oh ya, sampai lupa, selamat ulang tahun, Adelaide! (pelukislangit)
Kantor pusat di Tangerang
28 April 2014 – 20.32
Untuk Adelaide Matahari Samboh-Suharmoko, Esther Samboh dan Aditya Suharmoko