Ini tahun 2013. Hidup sudah berjalan 30 tahun untuk saya. Karena memang hobi berpergian, alam raya begitu baik pada saya; ia membawa saya berkeliling ke banyak tempat dengan banyak kepentingan. Tapi, sebelum 24 Juli 2013 yang lalu, dengan segala macam kondisi, ia belum pernah membawa saya mengunjungi Medan.
Medan adalah tempat ayah saya dilahirkan. Keluarga besar saya dari sisi ayah, punya cerita yang direkam dengan baik di kota ini. Sebelumnya, yang saya akrabi dari Medan adalah hal-hal seperti “Kotanya begini” atau “Kotanya begitu”. Tapi belum pernah saya menginjakkan kaki di kota ini.
Karena urusan kantor, akhirnya, saya mengunjungi Medan. Partner saya di kantor, Satria Ramadhan, berhalangan untuk mengeksekusi pekerjaan yang sudah menjadi projectnya. Karena waktunya bentrok dengan komitmen awalnya untuk pergi liburan ke satu event yang jadi incarannya sejak lama, jauh sebelum bergabung bersama AirAsia: Fuji Rock Festival. Dan dia menang banyak gara-gara pergi ke festival tersebut. But yeah, it’s another story.
Kisah singkat di Polonia
Yang saya ambil alih adalah hari pindahan bandara lama Kota Medan, Polonia ke bandara baru bernama Kualanamu. Jadi, saya akan menginjakkan kaki pertama dan terakhir di Polonia untuk kemudian ikut membuka lembaran baru industri penerbangan Indonesia dengan menyaksikan detik-detik pengoperasian Bandara Kualanamu yang letaknya dikeluhkan orang banyak ini.
Bandara Kualanamu adalah sebuah agenda besar yang diusung oleh pemerintah setempat. Mereka merasa bahwa kapasitas Polonia sudah mentok dan bandaranya sendiri terlalu renta untuk tetap menjadi saksi hidup perpindahan orang di salah satu kota paling sibuk Indonesia itu.
Ada banyak drama mengikuti, tapi mari tidak bicara banyak tentang hal itu. Kita semua hidup di Indonesia di mana drama rasanya wajib untuk jadi bagian cerita. Bukan begitu?
Penerbangan debut saya di rute Jakarta-Medan, berlangsung seru. Saya terbang bersama banyak anggota inti manajemen perusahaan tempat saya bekerja. Kebetulan, saya kenal dengan sang pilot, Captain Leonard Sitorus, salah satu pilot paling flamboyan di perusahaan.
Setelah menyapanya, ia menawarkan posisi penting yang sama sekali tidak mungkin ditolak. “Lix, elo mau duduk di cockpit pas landing nggak? Nanti gue panggil deh pas udah mulai turun,” ujarnya. Dan ya, saya mengakhiri penerbangan itu dengan duduk di cockpit. Tentu saja, kamera saya sudah siap sedia merekam semua proses di dalamnya; supaya ada bagian sejarah yang bisa dikabarkan ke orang banyak.
“Sedih juga gue terakhir kali beroperasi di Polonia ini. Bandaranya sudah mulai dipretelin orang. Entahlah mau jadi apa kawasan ini,” lanjut Leonard lagi.
Begitu mendarat di Polonia, kawan-kawan dari Medan sudah menyambut. Untuk orang yang pertama kali datang ke bandara ini, memang kesan old school menyembul dengan sangat jelas. Atap-atapnya sudah tua digerus waktu. Terminal kedatangan tampak kusam dan sesungguhnya sulit untuk percaya bahwa ini merupakan salah satu bandara paling sibuk di Indonesia. Kesederhanaan itu –kalau memang tidak ingin dibilang ketinggalan jaman— memang sudah seharusnya ditinggalkan. Siang itu, ketika landing, memang tampak dengan jelas bahwa Polonia sedang meregang nyawa. Ia sudah siap ditinggalkan.
Saya terbang bersama CEO dan COO. Setelah mengerjakan beberapa hal yang berkaitan dengan mereka, kami semua mengadakan pertemuan singkat dengan kawan-kawan di Medan yang memang sudah berkumpul untuk menyambut rombongan dari Jakarta.
Di antara mereka, ada beberapa wajah kawan yang memang sudah biasa bertugas ketika hal-hal seperti ini datang. Kami sering bercanda, bahwa jauh-jauh dari Jakarta ketemunya dia lagi, dia lagi. Banyak dari kawan ini memang punya tugas mulia untuk membantu segala sesuatunya jadi berjalan normal. Dan mereka adalah yang terbaik di bidangnya. Oleh karena itu, diperlukan setiap hal-hal masif seperti ini terjadi.
Saya masih belum bisa menghilangkan kekagetan saya betapa Medan Polonia itu sederhana sekali. Setelah pengarahan berhenti, tibalah waktunya keluar; saya harus membuktikan dahsyatnya masakan babi Medan yang kesohor itu.
Setelah mendarat, Leonard menyarankan kami pergi ke restoran favoritnya di satu kawasan yang sayangnya saya lupa namanya. Ada babi ala Cina yang mantap dan tidak lupa tentunya Badak yang legendaris itu.
Bergabung pula beberapa teman yang baru saya kenal dan karena memang budaya perusahaannya yang enak, cepatlah kami akrab satu sama lain. Di balik makanan nikmat yang kami santap ini, kami semua tahu bahwa malam yang super panjang akan menanti berikutnya.
“Biasalah, kita makan enak dulu sebelum kerja keras nanti malam,” canda saya kepada mereka semua. Malam itu, kami memang akan memindahkan 3 buah pesawat kami yang berbasis di Medan ke bandara baru.
Beraksi di Ferry Flight
Dunia penerbangan mengenalkan dengan istilah Ferry Flight. Saya dijadwalkan untuk duduk di salah satu penerbangan tersebut. Beruntung pekerjaan saya berurusan dengan urusan dokumentasi. Jadinya, bisa dengan enak bekerja dan mengukir cerita dalam spektrum personal maupun profesional.
Ngomong-ngomong tentang penerbangan pindahan ini, perusahaan saya menganggap semuanya sangat serius. Buktinya, yang dikirim untuk bertugas adalah para penerbang senior; dua level direktur dan dua level manager dan dua lainnya level yang sudah sangat senior.
Saya menebak, mungkin mereka ingin jadi bagian sejarah dengan menerbangkan pesawat komersial perusahaan kami untuk kali pertama ke bandara baru ini.
Bandara Kualanamu sendiri memang menjawab kebutuhan industri. Ia megah, berukuran sangat besar dan punya kapasitas berkali lipat lebih tinggi dari Medan Polonia. Sekilas, ia didesain mirip dengan Bandara Suvarnabhumi di Bangkok atau Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar. Secara visual, bandara ini luar biasa bagus.
Yang paling menjadi masalah adalah jaraknya. Dan itulah yang jadi kekhawatiran utama orang-orang yang berkecimpung di bisnis penerbangan.
Saya beruntung malam itu menjejakkan kaki pertama kali di Kualanamu dengan menggunakan penerbangan singkat dari Medan Polonia.
Dari tiga pesawat yang dijadwalkan lepas landas untuk dipindahkan, saya duduk manis di pesawat ketiga. Pesawat ini diawaki oleh Captain Andik Setiawan dan Captain Febrizal Lubis, keduanya masuk kategori kawakan di perusahaan.
“Selamat tinggal Polonia,” ujar Andik sesaat setelah kami lepas landas. Saya duduk di cockpit lagi. Pesawat sendiri, hanya terbang rendah, 2500 kaki. Waktu tempuh tadinya hanya sekitar 15 menit, tapi molor karena pesawat harus berputar beberapa kali diakibatkan kabut yang cukup tebal. Entah kabut apa. Kami mendarat setelah sekitar 30 menit mengudara.
Saya tidak membagi perasaan yang muncul kepada orang banyak. Tapi, saya senang sekali bisa jadi bagian sejarah ini. Mendarat di airport baru dan ikut serta di penerbangan perdana adalah sebuah pengalaman penting.
Ini menjadi sangat penting ketika saya menemukan diri saya ada di tengah puluhan orang penuh antusias yang ingin menyambut perubahan ini dari dekat. Ada berbagai macam level pegawai yang ikut serta di penerbangan malam itu. Kami semua ingin memastikan bahwa segala sesuatunya berlangsung lancar.
Kami juga berusaha keras untuk tetap terjaga sampai bandara ini resmi diumumkan dibuka untuk orang banyak. Kebanyakan dari kami berakhir pukul sembilan pagi; beberapa bahkan langsung kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaan.
Hari panjang itu berakhir. Dan saya merekam dengan baik kunjungan saya ke Medan untuk pertama kalinya. Tugas berikutnya adalah membelah kota itu dan menemukan banyak hal menarik yang dibilang orang. Karena selain nasi babi yang saya makan sehari sebelumnya, tidak ada hal lain menarik yang saya alami. Sepenuhnya hidup di dua hari itu didedikasikan di bandara. (pelukislangit)
Gandaria, 5 Agustus 2013
17.41 WIB
Bisa minta tolong no contact or email capt. Andik S. Trims . Ayik
good job,,,,
#semoga tuhan memberkati
cerita luar biasa ….