Risky Summerbee and the Honeythief & Frau – Days Elapsed (Free Download)



Salah satu band favorit saya dari tanah Jogjakarta, Risky Summerbee and the Honeythief, baru saja merilis single baru berjudul Days Elapsed. Single ini, melibatkan campur tangan aktif dari Frau yang membagi peran vokal utama bersama sang vokalis, Risky Summerbee.

Days Elapsed diambil dari kantong album penuh terbaru Risky Summerbee and the Honeythief yang berjudul Of Serenity and the Bustlin’ City. Album ini akan dirilis dalam waktu dekat. Masih ada beberapa persoalan yang menunda rilisnya album ini. Standarlah itu.

Satu yang menarik, Days Elapsed berhasil membuat Risky Summerbee and the Honeythief menempatkan teman duetnya keluar dari zona nyaman. Dengan mendengarkan lagu ini, anda bisa melihat Leilani Hermiasih keluar dari kebiasaannya yang sudah dikenal orang banyak lewat tubuh Frau.

“Days Elapsed itu beda sendiri. Bercerita tentang cinta yang tidak pernah pudar,” tutur penulis lirik sekaligus pimpinan band ini, Risky Summerbee.

Batasan, selalu ada untuk diruntuhkan, dan geng itu memberikan penegasan. Kalau anda familiar dengan rilisan sebelumnya, maka ada banyak perkembangan artistik yang masuk dan mengubah arah mata angin musikal mereka.

Days Elapsed adalah adaptasi nyata dari betapa musik pop 90-an punya peranan penting untuk masing-masing personil band ini. Tadi pagi, di Twitter, saya bilang bahwa lagu ini cocok untuk dikover 10,000 Maniacs kalau mereka reuni. Tapi, ini produk baru yang seolah tersesat di pusaran jaman. Jangan lupa bahwa ini adalah rilisan tahun 2012.

Kemampuan melintas batas itu, membuat saya kagum terus menerus dengan band ini. Mereka merdeka. Selamat mendengarkan. Sekedar tambahan, versi fisik dari single ini juga akan dirilis untuk publik luas. Artworknya menarik, dikerjakan oleh Wedhar Riyadi. Ikuti Risky Summerbee di http://www.twitter.com/risky_summerbee untuk informasi lebih lanjut. (pelukislangit)


Cengkareng, 13 Februari 2012
3.51 PM

Days Elapsed
(Kurniawan, Hatta, Summerbee, Zubiyan/ Summerbee)
Recorded at Pengerat Studio
Mixed and mastered by Yennu Ariendra at Studio Teater Garasi

Frau appears on piano and vocal

The band:

Risky Summerbee – Vocals, keyboards
Doni Kurniawan – Bass
Erwin Zubiyan – Guitars
Exon Baruna Wijaya – Drums
Widhiasmoro Risang – Keyboards

Risky Summerbee and the Honeythief & Frau – Days Elapsed (Free Download)

Advertisement

Belajar Jadi Media yang Lebih Cerdas

Untuk SalingSilang.com 

Saya bukan orang yang suka perayaan. Tapi, dari apa yang terjadi hari ini, ada baiknya sedikit melakukan perenungan. Selamat hari pers!

Bertahun-tahun saya punya passion yang besar dengan urusan pers. Saya menjadi penulis dan melakukan apa yang saya cintai sepanjang waktu, bahkan di dalam pekerjaan sehari-hari pun skill menulis saya masih berperan penting mengisi tantangan-tantangan pekerjaan.

Tapi saya tidak mau menjadi wartawan. Untuk saya, menjadi wartawan itu pekerjaan yang sulit karena harus berurusan dengan kewajiban yang sifatnya mengikat untuk menulis dalam sebuah kurun waktu tertentu guna memenuhi tengat yang ditentukan di sebuah kapasitas media. Saya tidak bisa bekerja seperti itu. Karena menurut saya, menulis adalah sebuah perayaan kemerdekaan bercerita saya sebagai seorang manusia.

Antusiasme saya akan dunia pers masih terjaga dengan baik sampai hari ini, ketika wajah pers sendiri sudah berubah banyak ketimbang, misalnya, 10 tahun yang lalu.

Sekarang, media online, punya peranan penting. Mereka punya kemampuan untuk menerabas batasan waktu dengan menyajikan berita yang nyaris mendekati real time. Begitu juga social media yang menjamur, terutama Twitter. Semuanya punya kapabilitas yang menyeramkan; mereka mampu menyajikan segala sesuatunya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Ada sisi jelek, kadang proses dasar jurnalistik yang menjadi dasar sebuah media, terabaikan. Alasannya sederhana, momen harus dikedepankan ketimbang akurasi. Target membuat media online berlomba menyajikan berita. Yang penting, jangan sampai ketinggalan dari lapak sebelah.

Hari ini, di pekerjaan, saya mengalami ujian penting sebagai seorang pegawai. Ada kasus yang menggelundung dengan kencang yang berkaitan dengan pekerjaan saya. Ini bukan tentang bagaimana kasus tersebut. Tapi, hari pers ini mengajarkan saya dan (semoga) juga sebuah media berpotensi bernas untuk tetap berpegangan erat pada yang namanya prinsip-prinsip jurnalistik.

Ini tentang saya yang mengoreksi SalingSilang.com. Silakan masuk ke situs mereka untuk mengetahui dengan lebih baik seperti apa itu SalingSilang.com. Situs ini merekam banyak fenomena social media yang terjadi di –mungkin pasar paling unik sedunia— Indonesia.

Kisah di pekerjaan itu masuk dalam monitor mereka sehingga kemudian ditulis. Linknya bisa dicek di sini:
http://salingsilang.com/baca/niat-tulus-ida_baik-dan-proses-berbelit-dari-airasiaid

Paragraf terakhir dari tulisan itu, aslinya berbunyi begini:

Saya tahu dengan pasti, kalau itu adalah sebuah kesalahan besar. Kenapa? Coba lihat link ini:

https://twitter.com/#!/AirAsiaId/status/167446703530713088

 

Pihak brand merespon keluhan si penumpang yang merasa dirugikan hanya dalam tempo 50 menit setelah tweet terakhirnya, dilakukan pukul 10.16 WIB.

Ada proses yang salah dalam penulisan awal perekaman aktivitas social media yang dilakukan oleh SalingSilang.com. Dan celakanya, kesalahan itu elementer sekali.

Situs ini, hanya menambahkan intro dan outro yang celakanya, mengubah persepsi orang banyak yang memang sudah menjelma menjadi jalanan satu arah terhadap si brand. Ini bukan masalah apakah si brand benar atau tidak. Menurut saya, pemaparan si penumpang sudah sangat komprehensif. Siapapun yang membaca tulisan itu, tentu saja punya pemahaman yang cenderung seragam.

Akan tetapi, SalingSilang.com –dengan kesalahan fatalnya yang menihilkan proses check and recheck—seperti memperkeruh suasana. Saya terusik, karena memang yang mereka sajikan di tahap awal adalah sebuah kesalahan fatal yang mungkin bisa membuat banyak orang punya pengertian yang berbeda terhadap masalah yang sedang terjadi.

Media, menurut saya, memang tidak akan lepas dari kepentingan. Mereka bisa dengan mudah memutarbalikkan fakta atau menggiring opini publik ke banyak arah. Tapi, ketika sebuah media melakukan kesalahan fundamental, kredibilitasnya jadi pertanyaan.

Itu yang terjadi pada Detik.com di dalam hidup saya. Begitu juga untuk 12paz.blogspot.com. Tapi, saya tidak ingin ini terjadi pada SalingSilang.com. Mereka, sebenarnya punya guna positif bagi scene social media Indonesia yang perilaku pasarnya sangat sulit ditebak ini.

Tapi, sebuah penyajian artikel, tetap harus diramu dengan baik. Ada proses jurnalistik yang harus dihormati. Bukan berarti kalau anda penggiat social media, pemerhati social media, atau sekedar pemantau social media, bisa dengan mudah menafikan prinsip dasar jurnalistik ketika menulis untuk orang banyak.

Saya mencari kontaknya dan ingin langsung mengoreksi kesalahan ini. Karena, buat saya pribadi, ini merugikan. Saya menemukan Twitter si penulis tapi lebih memilih awalnya untuk menulis komplain resmi via email. Pada akhirnya, saya dipertemukan kepada sejumlah nama yang sudah pernah saya kenal sebelumnya. Akhirnya arah penyelesaian sedikit diubah, coba berkomunikasi dengan Twitter.

Maka, ini yang saya tweet pada mereka yang terlibat pada SalingSilang.com:

https://twitter.com/#!/felixdass/status/167515472949030912

Lalu dibalas seperti ini:

 

Saya balas lagi seperti ini:

 

Si penulis melakukan kesalahan. Ia mereply tweet saya seperti ini:

 

Dan saya, yang masih perlu menyampaikan pendapat saya, membalas panjang lebar seperti ini:

 

Tidak ada komunikasi lanjutan dari penulis. Tapi Motulz, orang yang saya kenal lebih dulu, merespon bahwa keadaan akan segera diperbaiki.

Gambar di atas dan tweet saya adalah yang sebenar-benarnya saya harapkan secara pribadi pada SalingSilang.com. Mereka punya potensi dan rasanya bisa mengemban tanggung jawab untuk menjadi pintu besar ilmu pengetahuan untuk orang banyak. Apa yang terjadi hari ini, seharusnya pembelajaran bahwa menangkap trend bukanlah sekedar menggenggamnya erat di dalam pelukan lalu kemudian merilisnya semudah membalikkan telapak tangan.

Pada akhirnya, saya salut pada keberanian mereka melakukan revisi berita. Itu modal bagus. Saya selalu percaya institusi itu hebat ketika orang-orang di dalamnya berpikir terbuka dan mau mengakui kalau mereka salah.

I salute you. Terima kasih atas respon komunikasi yang enak. Semoga kalian jadi lebih baik di masa yang akan datang. Cheers!

Sekali lagi, selamat hari pers! (pelukislangit)
Kantor Cengkareng, 9 Februari 2012
20.22

 

Dari Angkasa Asia, Setelah Inggris Raya

Saya dua jam lagi tiba di Kuala Lumpur. Yang berarti empat jam dari Jakarta, rumah saya. Perjalanan liburan paling panjang yang pernah saya jalani akan segera berakhir.

Angkasa mulai membuat dirinya cerah. Bahkan, ini sebenarnya sudah tengah hari di tempat kedatangan. Pukul segini di zona waktu saya dua minggu terakhir ini masih jadi milik sang pagi. Tantangan yang kemudian menanti ketika tulisan ini sudah naik tayang di blog saya, adalah bagaimana berurusan dengan jetlag.

Itu akan jadi jetlag kedua saya, setelah setibanya saya di Inggris Raya dua minggu yang lalu. Waktu itu, saya hanya perlu satu hari untuk membuat segala sesuatunya normal. Orang bilang, itu karena zona waktu yang saya masuki mundur. Jadi badan lebih mudah beradaptasi. Sementara yang sekarang ada di hadapan saya, zona waktunya maju. Yang harusnya masih pukul enam pagi tapi tiba-tiba sudah pukul dua belas siang.

Kebiasaan buruk saya kalau terbang juga masih saja terjadi, sulit untuk tidur. Entah mengapa, selalu begitu.

Padahal, besok Rabu, saya sudah harus kembali beraktivitas dengan normal mengikuti waktu kerja yang juga normal. Tantangan ini namanya.

Manajer saya di kantor sewaktu saya mengajukan cuti beberapa pekan yang lalu bahkan sempat memastikan, “Eh, elo beneran mau langsung masuk hari rabu?”

Dia lebih berpengalaman untuk urusan jetlag. Lalu saya mengiyakan saja. Karena memang ide awalnya seperti itu. Saya mengambil cuti duluan sebelum orang cuti –padahal lebaran juga tidak— dan masuk kerja kembali belakangan. Lumayan tidak enak sih jadinya sama sekitar. Makanya saya memilih untuk menekan diri sendiri dan berkompromi dengan batasan waktu tersebut; saya mulai kerja hari Rabu.

Dari sekian banyak kota yang pernah saya datangi, entah kenapa perasaan saya akan London, Manchester dan Liverpool –tiga kota yang saya sambangi dalam perjalanan liburan ini— lumayan positif. Dalam artian, saya akan berkunjung lagi ke kota-kota ini. Saya selalu punya feeling kuat bahwa kalau memang kotanya menyenangkan, maka saya akan kembali lagi ke sana satu hari nanti.

Itu berlaku untuk Bangkok, Phuket, Krabi, Penang, Delhi, Shimla, Seoul, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Sydney, Gold Coast, Bali, Lombok, dan beberapa kota lainnya. Tapi, misalnya tidak untuk Mumbai dan Saigon. Saya percaya bahwa saya akan menginjakkan kaki lagi di tanah Inggris Raya.

Kenapa? Karena memang liburan saya yang kemarin ini sangat menyenangkan. Saya melihat tempat baru yang jadi cikal bakal peradaban manusia modern. Melihat beberapa kota dengan karakter masing-masing yang khas –well, Manchester membuat saya cukup kaget dan kemudian terkagum-kagum dan London agak mengecewakan di awal karena ternyata hanya merupakan versi lebih modern dari Singapura yang begitu plural— dan meninggalkan kesan mendalam.

Tapi, mari sedikit bernostalgia dan membaca apa yang saya pikir tentang masing-masing kota tersebut.

Liverpool


Kota ini selalu ada di mimpi saya. Sepakbola membawanya hadir dalam wujud John Barnes dan Steve McMahon. Karena alasan itulah saya selalu berangan untuk bisa menginjakan kaki di sini. Saya mendukung Liverpool dan perlu merasakan sebuah ikatan emosi yang luar biasa nyata di dalam genggaman saya. Itu terjadi ketika saya nyaris sesunggukan –well, untungnya hanya berkaca-kaca— di monument Hillsborough di salah satu sudut Stadion Anfield Road. Silakan dicari lebih lanjut di internet tentang peristiwa tersebut dan sejujurnya, tidak perlu dimengerti. Kalau kamu bukan penggemar Liverpool yang membagi hasrat yang besar, mungkin agak susah mencerna kenapa kadar emosinya bisa sedemikian besar.

Liverpool adalah sebuah kota sederhana yang hangat. Kota kecil yang dulunya punya peran penting di jaman kolonialisme Inggris; ia adalah gerbang invasi besar-besaran Inggris terhadap dunia lewat kultur maritimnya yang sangat terjaga hegemoninya.

Liverpool juga, tentu saja, rumah abadi The Beatles dan dua tim sepakbola yang jadi duta besar paling dihormati kota ini: Liverpool dan Everton.

Saya menikmati kesederhanaannya dan bagaimana mereka satu sama lain berhubungan erat lewat gang-gang bangunan bernuansa Victoria yang bertebaran. Juga logat Scouser –julukan etnis lokal yang berkuasa di kota ini— yang sulit dimengerti awalnya. Lihatlah cara Jamie Carragher dan Steven Gerrard berbicara. Nah, kurang lebih begitulah Scouser bicara.

Manchester


Awalnya, saya punya sedikit gegap budaya ketika menginjakkan kaki di Manchester. Dari Liverpool yang hangat, yang santai, lalu tiba-tiba masuk ke sebuah kota yang ritmenya cepat dan cukup materialistis. Kalau di Liverpool, makanan cukup murah lalu hostel tempat saya menginap menawarkan fasilitas wifi gratis, Manchester mendadak membuat saya harus bayar ini dan itu.

Kaget karena ternyata banyak printilan yang harus dibayar lagi. Tapi hanya perlu waktu beberapa jam saja untuk saya memahami bahwa Manchester adalah kota yang sangat indah. Kemarin, Manchester sedang memulai kampanye I Heart MCR yang diinisiasi secara kolektif untuk menanggapi buntut kerusuhan yang meluas dari London.

Kampanye ini menunjukkan betapa cintanya orang-orang yang tinggal di sini akan kota mereka. Sepanjang mata memandang, pasti poster ini terpampang kokoh di jendela gedung.

Manchester juga punya kultur kreatif yang seru. Bayangkan saja, Noel Gallagher dan Ian Brown bisa jadi duta kampanye kota, yang resmi dibuat oleh tourism board lokal. Mereka menghargai yang namanya seni, apapun bentuknya.

Bisa dilhat dari banyaknya galeri yang bertebaran di pusat kota atau bahkan setidaknya sebelas toko musik independen yang bertebaran di kota ini.

Kotanya cocok untuk saya.

London


Nah, yang ini agak berat untuk diceritakan. Menemukan sebuah kenyataan mendasar bahwa terlalu banyak orang dengan logat asing yang berusaha keras untuk berbahasa Inggris, membuat saya benar-benar kaget. Pikir saya, “Oh, ternyata segini pluralnya ya, London?”

Saya tidak mengharapkan ini terjadi. Tapi kepluralan yang ada tersebut malah membuat saya menangkap impresi yang sama tipenya dengan Singapura; kehilangan identitas klasiknya. Mungkin saya salah dan harus tinggal lebih lama lagi di sana.

Kota ini materialistis, semuanya harus dinilai dengan uang. Bahkan untuk sebuah kantong plastik di convenience store bandara. Tidak heran, budget tinggal di kota ini hampir sama dengan budget yang saya habiskan untuk dua kota sebelumnya.

Ada baiknya sih, urutan perjalanan saya lumayan benar. Dari yang paling murah sampai ke yang paling mahal. Jadinya grafik pengeluaran juga meningkat sehingga saya tidak memiliki kondisi kehabisan uang di awal perjalanan.

Ada juga satu bagian London yang berkesan untuk saya, Camden Town. Auranya mirip dengan Liverpool. Orang-orangnya masih hangat dan atmosirnya cukup nyeni. Banyak musisi yang tumbuh di sini. Salah satunya adalah almarhum Amy Winehouse yang melewati masa populernya sampai mati dengan hidup di Camden Town.

Saya hanya memandang kota ini sebagai tempat singgah saja. Untuk kemudian saking materialistisnya mengerti kenapa airport tax London Stansted bisa sampai MYR 537 –padahal tiket consession pegawai saya hanya MYR 400 sekali jalan—.

Itu tadi gambaran singkat tentang tiga kota yang saya kunjungi. Percaya atau tidak, saya melewatkan kesempatan untuk pergi ke banyak tempat turisme utama London. Bukan apa, saya cenderung malas dan percaya bahwa kesempatan seperti itu pasti akan datang lagi satu hari nanti. Hehe.

Jadi, saya tidak punya foto diri di Buckingham Palace, Hyde Park, Tower of London, London Eye, dan banyak tempat sejenis. Liburan adalah pilihan dan saya tidak bisa memaksa diri untuk melakukan hal yang tidak diinginkan, bukan?

Perjalanan liburan sendiri ini berhasil membawa saya menemukan banyak batasan baru yang ternyata menempel di dalam tubuh saya. Semacam menemukan kembali diri saya sendiri, mengenalnya lebih dalam dan melihat seberapa jauh saya sudah berjalan sebagai seorang manusia.

Dua tahun yang lalu, saya menemukan hal ini di India. Sekarang, Inggris Raya mengajarkan hal yang sama. Rasanya, fungsi liburan yang model begini akan terus menerus saya lakukan. Menyenangkan di satu sisi.

Tentu saja, memendam rindu kepada kekasih itu tidak enak rasanya. Dua minggu lebih sedikit saya tidak berjumpa dengan pacar saya. Sekarang, ketika tulisan ini dibuat, dia sedang ada di Bangkok. Juga untuk alasan liburan. Dia sedang mencoba sebuah petualangan baru –juga sendiri— yang sebelumnya bahkan belum pernah ada di dalam pikirannya.

Wajah liburan yang ternyata bisa membawa fungsi lain untuk lebih mengenal diri sendiri itulah yang selalu saya nikmati beberapa tahun belakangan ini.

Saya masih ingat sebuah bag tag seorang bule yang saya lihat bersama Adit Vampir di Singapura beberapa waktu yang lalu. Tulisannya begini, “See the world, come home for love.”

Ia benar adanya. Pesawat saya satu jam lagi mendarat di Kuala Lumpur. Rumah sudah dekat. Oh, dan saya akan langsung meletakkan barang di Gandaria barang sebentar. Lalu mengarahkan diri ke Senayan. Indonesia akan melawan Bahrain dalam beberapa jam. Saya harus ada di stadion. Lumayan untuk melawan jetlag.

Terima kasih sudah membaca. Push your limit, go get your dream destination fulfilled. I just did mine. Selanjutnya? Argentina.

6 September 2011 – Langit Asia

Cukilan Pagi: Sisa Semalam

Sebuah pagi.
Jogja National Museum.
09.09 WIB.

Saya duduk di ruang tengah tempat penginapan rembol rombongan Interconnection semalam. Rembol adalah istilah yang sering digunakan teman-teman di sini untuk kondisi di mana kondisi apapun di depan mata bisa diterima dan dijalani.

Seluruh penginapan ini, tidak mampu menampung jumlah rombongan yang ikut. Bukan apa, rombongannya memang membengkak. Saya sendiri, statusnya numpang, tidak ikut bayar apapun dan tidak ikut bertanggung jawab apapun. Makanya, cenderung menunggu kisah di bagian akhir, apakah bisa tidur atau tidak tadi malam.

Saya bisa tidur lumayan nyenyak selama kurang lebih empat jam di sebelah Dimas Pratama yang sekarang ikut mengawal Bangkutaman. Dulu, saya banyak bekerja bersamanya di Ballads of the Cliché.

Menjadi bagian kecil dari perjalanan tur seperti ini, adalah pengalaman yang seru. Masa saya untuk melaju kencang maksimal, memang telah berlalu, tapi untuk masa lalu? Bolehlah sepotong kenangan masuk menyeruak.

Jogjakarta dan Solo adalah tujuan tur ini. Sementara, saya hanya ikut bersenang-senang nonton band di Jogjakarta saja. Awalnya ingin ikut ke Solo, tapi pilihan lain rasanya lebih baik diperjuangkan di Jakarta. Jadinya memutuskan untuk pulang awal.

Kota tempat saya menulis tulisan ini, selalu punya tempat spesial untuk saya pribadi sebagai seorang yang cinta mati sama musik. Terlebih karena menu utama malam tadi adalah Bangkutaman yang kembali ke kota ini dan memainkan sejumlah katalog lama.

Kalau boleh balik ke masa lalu, saya berhutang banyak sama Bangkutaman dan orang-orang di sekitarnya di masa lalu. Mereka memberikan banyak inspirasi untuk berjuang dan sebisa mungkin berdiri di atas kaki sendiri. Menjadi minoritas bukanlah kekurangan, tapi justru kelebihan yang pisau tajamnya lebih punya kemampuan menusuk ketimbang pisau generik yang dimiliki si mayoritas. Untuk saya, Bangkutaman di awal karirnya punya analogi seperti itu.

Tentu saja, orang berubah dan jaman mengikuti kehidupan mereka. Sekarang, Bangkutaman, bukan lagi sekumpulan laki-laki penentang arah yang mau melakukan apa saja. Mereka sudah punya fase baru yang harus dijalani; dua dari tiga orang personilnya membawa istri mereka ke pertunjukkan ini.

Tapi, musiknya tetaplah sama. Jika menyaksikan mereka main di Jakarta, pasti menu yang disajikan adalah materi dari album Ode buat Kota. Sementara main di Jogja? Tentu saja lagu-lagu lama harus dimasukkan ke dalam menu.

“Wah, saya suruh mereka main lagu lama. Kalau nggak, percuma,” kata Gufi Asu, teman saya yang jadi salah satu penyelenggara acara ini.

Ia benar. Sebenar-benarnya.

Beberapa kawan lama yang kebetulan datang ke acara ini semalam, rasanya berhasil membawa gerbong memori lawas datang kembali barang sebentar. Terutama ketika lagu model Solomon Song, Kabut atau –single paling favorit saya— Satelit dimainkan. Beberapa orang tampak melakukan crowd surfing, satu hal yang mungkin agak mustahil bisa disaksikan di kota lainnya.

Di satu momen, saya menemukan Ojie Adrisubroto, sound engineer mereka di masa lampau termenung di dekat mixer pengatur tata suara. Mungkin ia melihat masa lalu yang muncul sekilas ketika hampir tanpa letih –karena kebanyakan mengganti letih dengan alkohol—mereka bersama-sama bersahabat akrab dengan kereta ekonomi membelah jarak.

Lalu ada juga kawan lama bernama Joko Problemo yang kebetulan ketemu di penginapan ini kemarin, ia membuat acara musik di kawasan ini.

“Wah, Acum mana?” tanyanya pada saya sewaktu bertemu. “Nuki ikut nggak?” belum sempat dijawab pertanyaan pertama, yang kedua sudah meluncur.

“Nuki di Jakarta, sudah tidak sama anak-anak lagi dia. Acum baru dateng nanti sore,” jawab saya. Acum adalah panggilan akrab Wahyu Nugroho, pemain bas sekaligus vokalis Bangkutaman. Sementara si Nuki itu adalah Nuki Nugroho, bekas manajer Bangkutaman.

Dulu, Joko Problemo hampir nyaris absen mengawal Acum dari pinggir. Ia adalah teknisi basnya. Mengawal dalam artian, memastikan bahwa alatnya berfungsi baik sekaligus asupan alkohol juga memainkan peran penting di dalam pertunjukkan Bangkutaman.

Orang-orang lama ini, dengan sendirinya membuat saya ikut-ikutan punya partikel sentimentil yang harus dikeluarkan. Oh lupa, Dimas Widiarto yang dulu pernah jadi salah satu produser mereka di Blossom Records, juga muncul malam itu.

Yang paling saya rindukan malam tadi adalah kehadiran Widi Nugroho. Orang paling banyak omong yang ternyata punya peran penting untuk membawa Bangkutaman ke fase yang sekarang sedang mereka jalani. Entah ia sekarang berada di mana.

Widi biasanya akan duduk sekaligus bercanda cemas tentang berapa tiket yang sudah terjual di dekat pintu masuk. Dulu, ia punya misi untuk membuat band-band indiepop Jogjakarta bisa berdiri sama tinggi dengan band-band dari kota lain. Rasanya, di masanya, ia cukup berhasil.

Orang-orang ini dan kisah mereak masing-masing membuat saya berhasil menemui masa lalu untuk sebentar saja dan menikmatinya sampai tegukan terakhir. Kunjungan singkat ini jadi punya arti penting untuk awalan tahun ini.

Yang saya ingat, saya bilang begini sama Ojie, “Harusnya si Widi Bangsat ada di sini nih.”

Mungkin. Satu hari nanti.

Rombongan berlanjut ke Solo di mana mereka akan memainkan pertunjukkan berikutnya. Sementara, saya bertolak ke Jakarta siang ini. Kembali ke kota saya dan menikmati melankolia ini. (pelukislangit)

*) Interconnection di Jogjakarta semalam menampilkan Brilliant at Breakfast, Leonardo, Answer Sheet, Bangkutaman dan L’alphalpha.


Fatherhood

*) Untuk Michael Waterkamp

Sejujurnya, mengawali blog dengan tulisan pertama di tahun 2012 ini, punya banyak harapan untuk diri sendiri. Saya sekarang menjadi realistis dengan keadaan sekitar di mana menulis untuk blog sendiri tidak lagi menjadi prioritas penting.

Sepanjang tahun 2011 kemarin, banyak hal menarik dalam hidup saya yang tidak berhasil terdokumentasikan dengan baik. Sayang, tapi semoga saya punya tenaga –harapan klise— untuk menuliskannya.

Dari sekian banyak topik yang seliweran di kepala, yang saya pilih adalah kisah teman baik saya, Michael Waterkamp. Pertemanan saya dengan Tuan Waterkamp, tahun ini memasuki usia ke 14. Kami teman SMA.

Dia baru membentuk sebuah keluarga baru bersama istrinya. Akhir pekan lalu, tepatnya pada Jumat, 13 Januari 2012 (Ya, Friday the 13th!), ia dianugerahi seorang putri cantik berperawakan mirip dengannya bernama Michaela Cristabelle Waterkamp.

Michaela adalah bayi sehat harapan semua orang tua di dunia ini. Dia punya masa depan yang terbentang luas di dunia yang makin hari makin kejam ini –untuk orang 20-an akhir—. Di antara lingkungan dekat kami,  Michael adalah orang pertama yang memiliki anak. Dia adalah orang kedua yang menikah di antara kami.

Kunjungan pertama saya berakhir dengan kegagalan untuk bertemu Michaela. Waktu itu, ia mendadak kuning sehingga harus masuk inkubator untuk disinari. Pertemuan kedua, berhasil. Kendati ia banyak terlelap ketika pertemuan itu terjadi.

Di kunjungan kedua, saya datang bersama Silva Gracia, yang sedang punya kunjungan singkat di Jakarta. Silva lebih dulu menikah ketimbang Michael. Tapi, ia belum punya anak sampai tulisan ini dibuat. J

Michael yang saya kenal adalah sosok yang flamboyan; ia punya caranya sendiri menjalani hidup, berdiri pada kakinya sendiri dan sosok yang cenderung ‘humoris’. Cara kami berinteraksi mungkin terlihat sedikit aneh untuk orang lain –maaf mendadak internal—.

Di kunjungan itu, ada satu adegan yang membekas untuk saya. Saya duduk di sisi Michael dan di seberang berjejer Silva dan Winda, istri Michael.

Kejadiannya lumayan aneh, ada pembantu rumah tangga menyajikan minuman dingin di gelas yang diperuntukkan untuk tamu dan kemudian tuan rumah mempersilakan kami –saya dan Silva— untuk memakan cemilan yang tersedia di meja ruang tamu itu.

“Gila, gue nggak pernah berpikir adegannya akan seperti ini,” ujar saya dalam hati. Hidup bergulir.

Lalu, pembicaraan kami mengalir. Mungkin karena Silva memang baru pulang ke tanah air. Kami semua sudah terlalu lama tidak bertemu. Tanpa disadari, pembicaraan mengarah ke bagaimana hidup setelah kedatangan Michaela.

“Dia tidur di kamar luar dan gue gentian ngawasinnya,” kata Michael tentang kamar si anak yang berwarna merah muda.

“Gue nggak bisa bayangin punya anak sekarang,” ucap Silva sambil menepuk jidatnya. Entah apa yang ada di pikirannya. Kalimat itu, saya amini.

Michael, yang sudah tidak berada di dalam fase berangan seperti kami berdua, tertawa kecil. Tapi, tawa itu membuat saya punya pemahaman baru tentang teman saya ini.

Ia berhasil menghadapi fase hidup yang lama dan mengucapkan selamat datang pada sebuah keadaan baru di mana tanggung jawab menggelembung dan menghadirkan tantangan yang baru. Kehadiran Michaela tentu saja membuat ia (dan Winda) punya sebuah pengikat yang lebih dalam.

Dengan segala macam atribut yang sudah ia gali dalam-dalam dengan bantuan Google, Michael punya informasi lengkap tentang bagaimana seorang anak yang baru lahir menjalani kehidupannya. Tentu saja, dibekali oleh sebuah kemampuan untuk bekerja sama dengan sang istri mengganti popok si anak yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya dan menangis keras.

Kemampuannya untuk bahu-membahu mengganti popok juga membuat saya kagum pada teman saya yang satu ini. Ia ada di fase baru dan tampak begitu menikmatinya.

Mungkin bisa jadi, ini adalah tahapan wajar dari usia beberapa hari menjadi ayah. Mungkin, saya tidak bisa mengkonfirmasinya sekarang karena memang belum ada di tahap itu.

Pandangan yang saya punya beberapa hari kemarin membuat saya berpikir betapa indahnya hidup mengalir dari hulu mencapai hilir. Di dalamnya ada potongan-potongan bahagia yang punya penafsiran dalam banyak bentuk wajah.

Saya berbahagia untuk si Tuan Waterkamp. Yang juga saya ingat dari teman ini adalah kalimat ini: “Begitu lewat hitungan Sagitarius, gue bersyukur kalau anak gue Capricorn.” Yang ini, adalah keahliannya; menilik alur kehidupan berdasarkan rasi bintang. (pelukislangit)

Cipete, 19 Januari 2012 – 23.27 WIB. Michael tampak sangat bahagia, bukan?

Supir India

Kalau kamu merupakan seorang pengemudi aktif di Jakarta, musuh utama adalah supir Metromini atau Bajaj. Bukan begitu? Atau malah pengendara motor?

Jakarta sepertinya sudah cukup semrawut untuk urusan lalu lintas. Tapi, kalau datang ke India, terutama kota-kota besarnya, kamu pasti akan bersyukur bahwa kamu hidup di Jakarta.

Keadaan lalu lintas kota-kota besar di India jauh lebih semrawut ketimbang Jakarta.

Satu faktor utama yang benar-benar bikin kacau adalah perilaku pengemudi kendaraan bermotor di India. Dan itu sifatnya general, dalam artian, hampir semua pengendara kendaraan bermotor punya sifat ‘kacau’ dalam mengemudi.

‘Kacau’ saya terjemahkan sebagai perilaku kasar dalam mengemudi, serta tidak teratur. Keteraturan sepertinya dibuang jauh-jauh dari cara mereka mengemudi.

Saya punya beberapa contoh.

Pertama, saya sedang menumpang sebuah rickshaw –semacam becak— menuju stasiun Delhi Metro dari rumah nenek saya. Jalanan yang kami lalui waktu itu memang rusak. Lubang ada di mana-mana. Jadi, kepandaian supir rickshaw untuk mencari jalan yang ‘baik’ adalah sebuah kelebihan.

Supir rickshaw saya memilih untuk naik trotoar. Kami mengarah ke utara. Dari arah berlawanan, ada sebuah auto rickshaw –yang ini mirip bajaj di Jakarta— yang berisi sekitar empat atau lima orang.

Biasanya, auto rickshaw bisa memuat enam orang sekaligus di dalamnya. Dia berfungsi sebagai angkot di sejumlah daerah perumahan di Delhi.

Ketika satu sama lain semakin mendekati, supir saya ini sama sekali tidak mau mengalah. Begitu juga dengan supir auto rickshaw ini. Dua-duanya sama-sama pasang hidung. Begitu papasan, dua-duanya sama-sama buang arah. Keduanya buang arah ke kiri.

Sudah bisa ditebak arah ceritanya, terjadi persenggolan antara dua kendaraan ini. Untungnya, saya duduk di tengah. Rickshaw saya terbangun dari besi super kuat. Jadi benturan kerangka itu hanya menimbulkan suara yang kencang.

Selepas benturan itu, supir rickshaw saya menoleh ke belakang. Niatnya hanya untuk memastikan bahwa saya tidak apa-apa. Tapi, ia menambah senyum di wajah. Saya juga jadi tertawa. Mungkin memang cara mainnya seperti itu ya.

Tidak perlu marah juga.

Ini gambar pemandangan dari rickshaw yang saya naiki:

P1040145 (Large)

Kedua, kejadian ini terjadi di Kolkata. Suatu hari, saya memutuskan untuk menyewa mobil bersama sepupu dan tante saya. Menyewa sebuah mobil dirasa lebih menguntungkan ketimbang menggunakan kendaraan umum waktu itu. Karena pada masa itu, hampir seluruh penduduk Kolkata bersiap menyambut Durga Puja.

Saya akan menulis tentang Durga Puja satu hari nanti. Pada intinya, keberadaan Durga Puja membuat semua orang tumpah ke jalan mencari baju baru. Karena mereka harus menggunakan baju baru selama lima hari berturut-turut.

Keadaan itu membuat mencari kendaraan umum di malam hari menjadi sebuah persoalan besar yang harus dihindari.

Suatu malam, kami sudah selesai berkeliling Kolkata. Di perjalanan pulang, si supir mobil sewaan terlibat adu kencang dengan mobil sebelah. Kondisi kota yang tidak lengang, sepertinya membuat rivalitas tidak penting itu menjadi semakin menantang untuk mereka.

Di satu belokan, si mobil sebelah ingin mengambil dari kanan. Si supir mobil sewaan tidak mau mengalah dan menutup jalan itu. Akhirnya terjadilah benturan.

Dalam kunjungan sebelumnya ke India, saya juga pernah terlibat dalam sebuah tabrakan. Jadi kejadian yang mungkin terjadi setelah tabrakan sudah terbayang di dalam kepala. Tidak terlalu kaget jadinya.

Benturan rivalitas tidak penting tadi, menghasilkan efek yang cukup parah untuk si mobil sebelah. Bemper depannya copot dan sontak dia langsung mengerem mendadak.

Hebatnya, supir saya berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak menambah kecepatan sama sekali dan tidak punya inisiatif untuk berhenti melihat kerusakan apa yang ia timbulkan.

Sepupu dan tante saya juga santai-santai saja tampaknya. Well, santai dalam artian hanya mengeluh tanpa melakukan apa-apa.

Ini gambar saya dan tante saya di dalam mobil sewaan gila itu:

P1050211 (Large)

Saya? Yah, saya hanya sekali lagi bisa tersenyum. “Ini negara gila,” pikir saya.

Dua kejadian tadi cukup menjelaskan bagaimana orang India punya gaya mengemudi yang ‘parah’. Kejadian pertama terjadi di Delhi di kota yang memang auranya sangat keras. Kejadian kedua terjadi di Kolkata, kota yang auranya berbeda dengan Delhi. Kolkata lebih ‘tenang’ dan jauh lebih nyaman untuk ditinggali.

Di Delhi, hampir sulit ditemui bentuk mobil yang utuh tanpa cela. Kebanyakan sudah penyok atau minimal tanpa kaca spion. Kalau ada kaca spion pun, biasanya dilipat ke dalam.

Skill mengemudi di India sepertinya cukup tinggi. Saya sih tidak berani mengemudikan kendaraan di India.

Jika ada pepatah lama di tanah Jakarta, “Hanya Tuhan dan supirnya yang tahu kalau bajaj mau belok,” nah di India harus dimodifikasi tuh.

“Hanya Tuhan dan supirnya yang tahu kalau semua kendaraan mau belok.”

Saya acungi dua jempol kalau ada dari kamu yang membaca tulisan ini yang punya keberanian untuk mengemudikan kendaraan di India.

Agra

Langit Delhi masih gelap, sekitar pukul empat tiga puluh pagi. Saya bangun, bergegas mengambil barang-barang, dan langsung mengarahkan pandangan keluar. Pagi itu, saya harus menembus jalanan penuh debu kota itu dan menuju New Delhi Station.

P1040239 (Large)

Saya melakukan perjalanan pulang hari ke kota Agra. Menu utamanya Taj Mahal. Jadi, bangun pagi bukanlah sebuah persoalan berarti kalau ingin dibandingkan dengan apa yang akan saya lihat hari itu.

Kereta saya dijadwalkan pergi pukul enam tiga puluh pagi. Perjalanan akan memakan waktu dua jam. “Cukup untuk menambah waktu tidur,” pikir saya dalam hati.

Agra memang tidak berjarak begitu jauh dari Delhi, salah satu gerbang utama masuk ke India.

Kota ini terletak di negara bagian Uttar Pradesh, bersebelahan langsung dengan Delhi.

Jaraknya kurang lebih sepadan dengan Jakarta-Bandung. Bisa ditempuh dengan jalan darat, baik mennggunakan kereta api atau jalan tol panjang yang menghubungkan dua kota ini.

Penerbangan juga tersedia di antara dua kota ini. Tapi, saya sedang liburan. Jadi tidak ada alasan yang begitu mendesak untuk mengambil opsi terbang ke kota yang jaraknya dekat. Lagipula, sudah pasti tidak akan masuk di dalam budget perjalanan saya.

Kalau berjalan dalam rombongan kecil (maksimal tiga orang) ada baiknya menggunakan jasa kereta api. Tidak banyak yang bisa dilihat di kota ini selain tiga warisan dunia yang dilindungi dan diakui oleh Unesco; Taj Mahal, Fatepur Sikri, dan Agra Fort. Jadi, perjalanan pulang hari bisa dilakukan dengan mudah.

Tidak banyak yang saya ingat dari perjalanan New Delhi ke Agra Cantonment, stasiun kereta api utama di Agra. Saat itu, tidur adalah pilihan paling baik. Di gerbong yang sama, tampak sejumlah wajah asing yang sepertinya punya tujuan yang sama dengan saya.

P1040264 (Large)

P1040267 (Large)

Saya tiba di Agra Cantonment sekitar pukul sembilan pagi. Mata masih berat, namun Taj Mahal sudah menunggu.

Agra sendiri adalah kota yang bertolak belakang kondisinya dengan Delhi. Delhi adalah ibu kota pemerintahan India di mana urat nadi kehidupan di segenap penjuru negara penuh pesona ini dikendalikan. Sementara Agra? Agra tidak lebih dari kota super miskin yang tandus dan hanya dikenal orang karena keajaiban serta kisah legendaris dinasti Moghul berabad-abad yang lalu.

Kehidupan di Agra Cantonment pagi itu cukup menggairahkan. Ratusan orang tumpah ruah ingin memulai kehidupan mereka masing-masing.

Lewat penelusuran kecil-kecilan di internet, saya mendapatkan informasi bahwa ada jasa tur yang diselenggarakan oleh pemerintah lokal Agra. Tujuannya ke tiga tempat utama itu tadi; Taj Mahal, Fatehpur Sikri, dan Agra Fort.

Saya memilih untuk menggunakan jasa itu ketimbang harus ‘mengeteng’ menggunakan auto rickshaw atau taksi gelap yang mendominasi moda transportasi utama kota ini. Menggunakan rickshaw biasa jelas bukan merupakan pilihan karena untuk melihat tiga tempat itu harus menempuh jarak lebih dari tiga puluh kilometer.

P1040279 (Large)

Tarif yang ditawarkan oleh tur resmi pemerintah itu Rs. 1700, sudah termasuk ongkos untuk masuk ke tiga kawasan wisata itu. Sementara, kalau menggunakan kendaraan ketengan itu, tidak jelas harus menghabiskan uang berapa.

P1040281 (Large)

Mereka menentukan tarif berdasarkan tampang orang yang meminta jasa mereka. Jadi, sudah pasti harus mempertontonkan skill tawar-menawar yang baik, baru bisa mendapatkan harga yang cocok. Kalau tidak? Ya siap-siap saja untuk menelan pil pahit.

Dari segi jarak, Fatehpur Sikri terpisah jauh dari Taj Mahal dan Agra Fort. Tempat ini berada sekitar tiga puluh kilometer dari dua tempat yang disebut duluan itu. Oleh tur ketengan, biasanya tempat ini dilewatkan begitu saja.

Karena jauh, mereka akan membawa kita ke sejumlah tempat lain yang jaraknya relatif lebih dekat dengan Taj Mahal dan Agra Fort.

Kekurangan lain tur ketengan ini adalah ketidakhadiran seorang pemandu wisata profesional yang mampu menerangkan setiap sendi tiga tempat utama ini. Cerita-cerita di balik warisan dunia ini rasanya sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Jadi, kehadiran seorang pemandu wisata adalah sebuah hal yang mutlak diperlukan.

Atas nama mencari cerita itulah saya kembali berkunjung ke Agra. Di dua perjalanan ke India sebelumnya, saya juga mengunjungi Agra. Tapi, dari tiga menu utama yang sudah saya sebutkan di atas, saya belum pernah mengunjungi Fatehpur Sikri.

Fatehpur Sikri adalah salah satu pusat pemerintahan dinasti Moghul di jaman Akbar the Great di samping Agra Fort. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini dan sini.

Dua halaman itu seharusnya bisa lebih menjelaskan ketimbang saya menulis ulang ceritanya. Hehe.

Kota Agra terletaka di negara bagian Uttar Pradesh. Dibandingkan dengan Delhi –kota besar paling dekat dengan kota ini— Agra punya karakteristik alam yang hampir sama. Sama-sama tandus dan kering, serta penuh debu.

Hanya saja, di Agra, tingkat kemiskinan tampak begitu besar. Pengemis ada di mana-mana dan dalam wajah apapun; ibu-ibu, bapak-bapak, sampai anak-anak.

Saya kurang paham apakah mereka pendatang yang coba mengadu nasib di kota turis ini atau memang penduduk asli kota ini.

Kalau di cerita sebelumnya tentang pre-paid taxi, saya sudah menyinggung karakter orang lokal yang suka mengelabui turis, di Agra juga kejadian yang seperti ini.

Terutama ketika menjajakan suvenir. Mereka sangat agresif dan seringkali sangat menganggu.

Jadi, karena akhirnya memilih untuk membeli paket tur dari agensi pemerintah itu, seharian saya berkeliling Agra menggunakan bus ¾ yang kalau di Indonesia mirip sama Metromini atau Kopaja tanpa pendingin di udara panas yang beberapa derajat lebih tinggi dari apa yang saya temui di Jakarta.

Bus itu berkapasitas dua puluh delapan orang. Dengan konfigurasi kursi mirip persis dengan Metromini, sempit-sempit. Untungnya, hari itu yang mengikuti tur hanya sekitar dua belas orang. Jadi tidak harus berbagi ruang sempit seharian.

P1040447 (Large)

Tur pada waktu itu digawangi oleh seorang pemandu tur yang flamboyan. Hmm.. definisi flamboyan lebih ke wajahnya yang cukup stylish. Ia berada di usia lepas empat puluh lima, brewok yang putih, potongan dan gestur badan mirip dengan Rudy Wowor. Lengkap dengan kacamata hitam Rayban.

Di perjalanan, ia ditemani dua orang petugas lainnya. Satu supir dan satu lagi kondektur. Rasanya lebih dari cukup tiga orang itu untuk hanya mengawal dua belas orang.

Si pemandu flamboyan itu lumayan cakap dalam menceritakan sesuatu. Dia juga tidak segan-segan untuk bercerita dengan penuh kesabaran jika ada peserta tur bertanya tentang suatu hal. Terlepas dari dia memang sudah biasa bertutur kata tentang subyek turnya, ia juga merupakan seorang pencerita yang baik.

Dari stasiun ke Fatehpur Sikri, perlu waktu sekitar satu jam. Saya memilih untuk tidur. Tapi, terbangun juga ketika ada orang mengetuk-ngetukan palu ke badan bus. Ia ingin menawarkan jasa tambal ban!

Aneh bin ajaib! Orang sedang tur kota kok ditawari ban dalam? Jangan terlalu dipikirkan, ini bisa jadi hanya terjadi di India!

Urutan kunjungannya adalah Fatehpur Sikri, Agra Fort, dan Taj Mahal. Saya tidak ingin bercerita panjang lebar tentang dua tempat ini. Agra Fort bisa ditilik lebih jauh di sini. Dan Taj Mahal bisa ditilik di sini.

Di bawah ini adalah foto-fotonya. Biar lebih jelas, daripada saya harus bercerita panjang lebar. Hal-hal seperti ini menurut saya lebih enak untuk dialami ketimbang mendengarkan cerita orang.

Ini adalah Fatehpur Sikri:

P1040299 (Large)

P1040307 (Large)

P1040328 (Large)

Dan ini adalah Agra Fort:

P1040454 (Large)

P1040457 (Large)

P1040481 (Large)

Yang ini sudah pasti sangat dikenal luas:

P1040524 (Large)

P1040528 (Large)

P1040547 (Large)

P1040551 (Large)

P1040553 (Large)

P1040632 (Large)

P1040646 (Large)

Agra buat saya adalah tempat spesial. Itu kenapa saya merasa harus pergi sampai tiga kali ke kota ini. Keindahan tiga bangunan di dalam cerita ini sangatlah luar biasa.

Sore harinya, saya menemui diri saya terduduk lemas keletihan di satu pojok Agra Cantonment. Kereta pulang saya ke Delhi berangkat pukul delapan malam. Lumayan garing juga menunggunya.

Di perjalanan pulang, saya dipertemukan dengan seorang pemuda Israel yang juga melakukan perjalanan pulang hari ke Agra dari Delhi. Pemuda ini masih duduk di bangku sekolah. Usianya dua puluh empat. Ia menggunakan topi khas Yahudi di kepalanya. Dengan benda itu, saya mudah mengenali kalau ia adalah bangsa Yahudi, bangsa yang paling tidak ingin saya ajak beradu keahlian di dunia ini. Haha.

Si pemuda ini kaget luar biasa begitu mengetahui saya berasal dari Indonesia. Nama itu terlalu asing. Dia bertanya, “Indonesia itu di mana ya? Dekat dengan Singapura?”

Ini yang salah siapa ya? Negara saya yang kurang populer atau si pemuda Yahudi ini yang memang benar-benar tidak tahu.

Haha. Tapi, kendati saya suka dengan Agra, sepertinya di kunjungan berikutya, saya tidak akan mampir lagi ke kota ini. Sudah cukup untuk sementara waktu.

Pre-Paid Taxi

Bertualang di India adalah tantangan tersendiri. Karakter orang-orangnya bisa jadi berbanding terbalik dengan orang Indonesia. Secara garis besar, orang India bisa masuk kategori super agresif.

Mereka paham sekali bahwa tanah mereka berhasil menarik perhatian banyak orang di dunia lewat kekayaan budaya.

Salah satu sisi jeleknya, mereka semacam sangat awas dengan turis. Turis seringkali diasosiasikan dengan uang berlimpah. Kalau biasa saja perlakukannya sih tidak masalah. Yang seringkali menjadi masalah itu adalah hasrat untuk secara sadar menipu turis demi uang.

Hal ini wajar terjadi di daerah wisata. Hal yang sama juga berlaku kok di sejumlah daerah wisata di Indonesia. Jangan terlalu heran.

Sebaliknya, untuk turis –apalagi mereka yang berbudget rendah— perlakukan model begini, seringkali membuat gerah. Karena yang diincar sudah barang tentu duit yang ada di balik kantong.

Titik yang seringkali menjadi ajang empuk untuk menipu turis adalah transportasi. Wajar, namanya pendatang asing. Sulit untuk bisa memahami naik apa kemana dan bagaimana mencari kendaraannya.

Ada satu sistem yang menurut saya sangat bagus di India, pre-paid taxi. Jadi, kalau ingin naik taksi, harus bayar di depan. Metode ini sama sekali tidak menggunakan argo.

P1040773 (Medium)

Cara kerja metode ini kurang lebih begini:

  1. Calon penumpang antri di loket pre-paid taxi
  2. Setelah tiba gilirannya, sang pejaga loket akan bertanya kemana tujuan yang akan dituju
  3. Lalu, ia juga akan bertanya berapa banyak bagasi yang dibawa
  4. Setelah selesai dengan pertanyaan, dia akan memberi tahu, berapa tarif taksi tersebut
  5. Setelah calon penumpang membayar, ia akan menyerahkan struk
  6. Dengan struk tersebut, calon penumpang langsung menuju ke antrian taksi
  7. Struk dipertunjukan kepada supir taksi, lalu taksi siap diberangkatkan

Kenapa metodenya bagus? Metode ini membuat para supir taksi sulit untuk mengakali calon penumpang.

Petugas di loket pre-paid taxi tidak punya kepentingan langsung dengan penumpang. Ia bahkan tidak tahu supir mana yang akan mengangkut si penumpang ini. Dan supir taksi juga tidak langsung bernegosiasi dengan penumpang untuk tarif yang harus dibayar.

Jadi secara sistem, mereka semua tidak tersambung.

Metode pre-paid taxi ini biasanya terdapat di bandara atau stasiun di kota besar. Bentuknya bisa bermacam-macam, belum tentu harus taksi dalam wujud yang konvensional.

Misalnya saja di Delhi. Di Delhi, yang disebut taksi bentuknya bisa bermacam-macam. Di stasiun New Delhi, misalnya. Di sana semua taksi adalah auto rickshaw. Kalau di sini bentuknya mirip bajaj. Sementara di bandaranya, yang namanya taksi adalah mobil. Bentuknya macam-macam, mulai dari mobil mirip Daihatsu Hijet, Toyota Starlet, atau bahkan Ambassador.

Tapi lain lagi di Kolkata. Di Kolkata, yang namanya pre-paid taxi adalah taksi Ambassador. Kebijakan ini bergantung lagi pada di mana negara bagian tempat kaki dipijakkan.

Keberadaan sistem ini jelas sangat membantu.

Karena sifat agresif yang luar biasa di atas rata-rata tadi, orang India di beberapa terminal masuk sebuah kota besar, biasanya akan sebisa mungkin meyakinkan turis untuk bisa ditipu.

Ini terjadi pada saya kemarin.

Suatu hari, saya mengambil perjalanan pulang hari ke Agra, kota di mana Taj Mahal berada. Berdasarkan riset yang sudah saya lakukan sebelumnya, kereta kembali dari Agra akan tiba sekitar pukul sebelas malam.

Setibanya di stasiun New Delhi, saya langsung bertanya kiri kanan di manakah letak loket pre-paid taxi. Tapi, entah mengapa tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti.

Mungkin karena tampang saya cukup kebingungan, seorang bapak menghampiri. Dengan penuh percaya diri dia menawarkan jasa untuk menggunakan taksi gelapnya. Dia bilang, sudah tidak ada taksi lagi tengah malam.

Saya bertanya berapa uang yang saya harus keluarkan untuk menggunakan jasanya. Saya tahu bahwa untuk pre-paid taxi, uang yang harus saya keluarkan sekitar Rs.150. Ia bilang saya harus membayar Rs. 500 untuk jasanya. Gila!

Jurus paling ampuh untuk menolak orang adalah dengan berkata, “Maaf. Tapi saya tidak punya uang sebanyak itu untuk membayar kamu.”

Jurus itu berhasil dan saya menemukan loket pre-paid taxi pada akhirnya. Loketnya berada di luar stasiun. Jangan gampang menyerah.

Tapi, berurusan dengan pre-paid taxi ini cukup mudah kok. Jadi, jangan takut. Begitu sudah ada di dalam kendaraan, berarti permasalahan sudah selesai. Yang belum selesai mungkin adalah perjalanan menembus kemacetan suatu kota di India yang kadang-kadang bisa jadi permasalahan sendiri.

Indira Gandhi International Airport

P1040101 (Large)

Pintu masuk saya ke India kali ini adalah Indira Gandhi International Airport di kota Delhi. Bandara ini adalah bandara paling sibuk nomor satu di India.

Nama bandar udara ini sudah barang tentu diambil dari Shrimiti Indira Priyadharsini Gandhi, tokoh perempuan nomor satu India. Kisah tentang Indira Gandhi bisa dibaca di sini.

Sementara, bandaranya sendiri merupakan sebuah bandara yang sedang melakukan transisi. Mereka sedang memulai pembangunan terminal baru bernama Terminal 3 yang ditargetkan untuk menggantikan dua terminal yang sudah ada sebelumnya.

Terminal satu digunakan untuk penerbangan domestik. Nanti saya akan menulis tentang terminal itu secara khusus. Sementara terminal dua digunakan untuk penerbangan internasional.

Dulunya, bandar udara ini bernama Palam dan sekaligus menjadi markas komando angkatan udara India. Tapi, seiring tuntutan jaman, bandara ini dimaksimalkan fungsinya untuk kepentingan komersialisme.

Kendati bandara paling sibuk di India, Indira Gandhi International Airport kondisinya tidaklah megah. Bayangan bandara modern model Changi di Singapura, Suvarnabhumi di Bangkok, dan Dubai Airport di Uni Emirat Arab tampaknya sulit disandingkan dengan bandara ini.

P1040107 (Large)

Mungkin Indira Gandhi International Airport ada di kelas yang sama dengan Soekarno-Hatta di Jakarta. Hanya saja, aura kesibukan tampak lebih nyata.

Saya mendarat di sana sekitar pukul sembilan malam. Celakanya, waktu pesawat saya mendarat nyaris berbarengan dengan pesawat berbadan besar asal Osaka, Jepang.

Sudah bisa dibayangkan betapa lamanya waktu yang diperlukan untuk mengantri di tempat pengecekan imigrasi. Dan waktu itu, saya menghabiskan sekitar satu jam di antrian itu.

Karena India baru saja diserang oleh wabah flu babi yang luar biasa besar, seluruh penumpang yang masuk India juga diwajibkan untuk mengisi sebuah formulir khusus dan berjalan melalui detektor khusus.

Ruangan imigrasi yang tidak terlalu besar juga menjadi masalah penting. Terbayang ketika sekitar tiga ratus lima puluh orang bersamaan antri untuk dicap paspornya. Nah, itulah yang terjadi waktu saya datang.

P1040109 (Large)

Masalah tidak berhenti di situ, ketika mengambil bagasi pun problem yang sama kembali muncul. Suasana penuh riuh rendah benar-benar mengisi gambar-gambar pertama perjalanan di India di kepala saya waktu itu.

Alhasil, saya baru bisa keluar bandara, satu setengah jam setelah mendarat. Benar-benar, mereka memang memerlukan sebuah bandar udara baru.

Bandara yang berkesan klasik ini sepertinya telah letih menjadi saksi jutaan orang lalu lalang demi mendapatkan kesan mereka masing-masing akan hidup yang berbeda di tanah India.

Informasi lanjutan tentang Indira Gandhi International Airport bisa dilihat di sini.

Jet Airways

P1040080 (Large)

Setelah visa dan seluruh proses persiapan selesai. Tibalah waktu yang dinanti-nanti, saya akan memulai perjalanan ke India.

Atas restu yang di atas, perjalanan ini bisa dimulai pada hari ulang tahun saya yang ke dua puluh enam. Sedikit alasan romantisme sih ujungnya, sayangnya tidak begitu sempurna.

Seperti sudah disinggung di tulisan sebelumnya, karena alasan menghemat budget, saya memilih untuk terbang menuju Delhi dari Bangkok dengan menggunakan Jet Airways, maskapai swasta asal India.

Pilihan utamanya menggunakan Thai Airways, tapi harga tiket yang saya dapat beda sekitar US$ 75. Bolehlah, lumayan untuk menghemat. Akibatnya, saya harus menginap satu malam terlebih dulu di Bangkok.

Kalau dipikir, ongkos menginapnya juga tidak sampai semahal itu. Tidak perlu grasak-grusuk sampai India juga. Karena total perjalanan saya juga sudah cukup lama.

Di dalam perjalanan kali ini, saya akan mengunjungi tiga kota; Delhi, Kolkata, dan Shimla. Sebenarnya, ini bukan rute yang ideal. Cuma, percayalah, saya punya alasan cukup kuat untuk memilih tiga kota itu.

Lagipula, saya masih punya sedikitnya sepuluh kali perjalanan ke India. Jadi, santai-santai saja dijalaninya.

Perjalanan Jakarta-Bangkok dihabiskan selama tiga jam dua puluh menit menggunakan Air Asia. Sementara perjalanan Bangkok-Delhi membutuhkan waktu tiga jam empat puluh lima menit menggunakan Jet Airways.

Tadinya, saya pikir Jet Airways akan menggunakan pesawat besar untuk mengangkut penumpang ke tanah India. Toh, rutenya memang gemuk. Ternyata tidak.

P1040085 (Large)

Mereka hanya menganggarkan sebuah pesawat berkapasitas seratus tujuhpuluhan penumpang untuk trayek Bangkok-Delhi yang jalan setiap hari

Sejujurnya, saya sedikit kangen untuk bepergian dengan pesawat besar. Terakhir kali saya bepergian dengan pesawat besar itu rasanya tahun 2005. Selepas era itu, saya selalu bepergian dengan pesawat yang tidak besar.

Jet Airways tidak masuk kategori budget airlines. Di dalam pesawatnya, seluruh servis dilakukan dengan standar internasional. Termasuk menyediakan bergelas-gelas minuman keras.

Ada satu yang harus diperhatikan untuk bepergian menggunakan maskapai penerbangan asal India, yaitu kebiasaan orang India untuk minum minuman keras.

Kebiasaan ini bukan main menganggunya untuk mereka yang tidak biasa. Hobi mereka untuk minum memang luar biasa hebat. Harap dicatat, yang mereka minum adalah minuman dengan kategori liquour. Bir tidak populer.

Di perjalanan menuju Delhi, saya duduk di seberang tiga orang laki-laki paruh baya yang berbekalkan sebotol Jack Daniel’s dari toko bebas pajak Bandara Suvarnabhumi, Bangkok.

Hebatnya, botol itu bisa dihabiskan hanya dalam waktu tiga setengah jam. Itu juga belum ditambah dengan kuantitas minuman yang mereka minta dari pramugari/a.

Sudah barang tentu mereka mabuk berat. Tapi, contoh buruknya bukan itu saja.

Bunyi bel panggilang pramugari/a juga sering sekali berbunyi sepanjang perjalanan. Kebanyakan hanya minta minuman. Baik dari yang sekedar air putih maupun sampai minuman keras.

Wajah para pramugari/a di penerbangan itu kebanyakan kencang. Karena mereka harus bekerja ekstra terus menerus. Terbayang di kepala saya gimana kalau penerbangan panjang ya? Keras pasti hidup mereka.

Sepertinya ini berhubungan dengan karakter orang India yang keras. Jadi memang harus ditanggapi dengan keras juga.

Jet Airways ini adalah perusahaan penerbangan nomor dua paling besar di India. Nomor satunya sudah barang tentu Air India, perusahaan negara mereka di bidang penerbangan.

Terbang dengan Jet Airways kali ini juga membawa banyak kejutan ke dalam diri saya. Di awal pekan sebelum keberangkatan, saya dikejutkan dengan fakta bahwa sekitar empat ratus pilot Jet Airways mogok kerja.

Mereka merasa perlu untuk menyatakan solidaritas terhadap beberapa pilot senior yang dipecat oleh manajemen. Caranya? Mereka mengaku sakit pada saat yang bersamaan.

Hal ini memengaruhi seluruh penerbangan terjadwal mereka, baik yang dalam maupun yang luar negeri. Sudah barang tentu saya juga ikut-ikutan cemas.

Kisruh ini bahkan sampai memaksa Manmohan Singh, perdana menteri India, untuk turun tangan. Karena memang yang dikacaukan adalah puluhan ribu urusan orang lain.

Untung saja ketika saya berangkat tanggal 13 September 2009, pemogokan itu sudah selesai. Terbayang kalau misalnya tiket saya dibatalkan dan tiket saya dikembalikan. Sudah barang tentu saya akan pusing tujuh keliling bagaimana mencari penerbangan murah untuk menjangkau India.

P1040098 (Large)

Tidak pernah terbayangkan juga terdampar di Bangkok. Kota itu tidak begitu menarik untuk saya. Karakternya lebih mirip dengan Kuala Lumpur. Hanya saja, Bangkok lebih menyediakan kejutan ketimbang Kuala Lumpur yang memang kurang seru untuk saya.

Saya tidak bisa tidur dalam perjalanan ke Delhi dari Bangkok. Mungkin karena antusiasme di dalam kepala saya sudah terlalu besar untuk tiba di Delhi dan bertemu dengan nenek saya.

Kalau ditanya kesan dan pesan menggunakan Jet Airways, pasti saya akan bilang kalau maskapai penerbangan ini sesuai dengan harganya.

Terbang murah dengan fasilitas nomor satu? Ya sudah pasti sulit untuk ditemukan. Apa yang saya bayar, sesuailah dengan apa yang saya dapatkan. Yang penting tidak mengecewakanlah.

Tapi, untuk penerbangan murah ke sejumlah kota di Asia, Jet Airways adalah pilihan yang ada di peringkat atas.

Kalau tertarik dengan jasa mereka, silakan masuk ke www.jetairways.com. Awas, navigasi di situs itu cenderung lambat.