Menyimak Invasi Budaya Korea dari Dekat bersama Music Bank Jakarta

Saya selalu percaya bahwa musik adalah senjata. Sejak  pertama kali berkenalan dengannya lewat sebuah penolakan halus dari ayah saya untuk membelikan album soundtrack Batman Forever yang menurutnya dulu belum seharusnya saya dengar, ia mengemas dirinya dengan sangat baik untuk menciptakan citra tersebut.

Ada banyak keadaan di mana saya dipaksa untuk menerima coolness-nya musik sebagai sebuah alat perjuangan. Scene independen Bandung dan Jakarta memberikan warnanya, begitu juga revolusi industri musik lokal yang memberi ruang pada metode penyewaan lagu murahan model RBT dan sederet turunannya, hingga yang terkini: invasi budaya.

Musik, sudah barang tentu adalah sebuah produk budaya yang bisa dirasakan. Sulit dan cenderung tidak perlu mendebatnya. Tidak perlu mencari penjelasan ilmiah dan referensi yang akan membuat kening kita mengernyit dan tampak sedikit lebih tua, musik bisa dirasakan merasuk ke banyak elemen hidup.

Dengan digdaya, musik menyeruak menjadi sebuah kebutuhan berekspresi; macet di tengah jalanan, mencari jati diri atau bahkan menjadi lagu tema perkelahian domestik.

Indonesia, adalah pasar yang besar. Dengan segenap kemampuannya menyesuaikan diri, musik selalu hadir sebagai budaya masif yang mendominasi jagat hiburan. Film pernah absen lama, tari-tarian juga cenderung terpinggirkan, teater menjadi eksklusif, tapi musik selalu ada di sana.

Yang melekat di identitas generasi saya berbeda dengan apa yang ada sekarang. Begitu juga sebelumnya. Ada macam-macam elemen pembeda yang membuat rekam jejak musik sebagai agen budaya bergantungan memberi pengaruh pada hidup manusia.

Histeria kadang bisa jadi faktor penyeragam. Berdasarkan pengalaman, saya pernah melihat mantan kekasih histeris mengetahui Westlife datang ke Indonesia atau seorang lelaki 30-an menangis keras melihat Iwan Fals memimpin Kantata menyanyikan lagi Kesaksian beberapa dekade setelah lagu itu dirilis dan memberikan efek kenangan mendalam di diri banyak orang.

Histeria mendefinisikan betapa besar cinta yang dimiliki untuk satu sosok kemasan musik. Yang paling baru dan mencuri perhatian adalah generasi  musisi K-Pop yang menyebarkan virus mematikan lewat musik mereka.

Musik K-Pop ini adalah milih generasi hari ini, mereka yang tetap merasa perlu untuk mengekspresikan diri.

Kalau disuruh menyebutkan satu demi satu artisnya, mungkin saya akan jadi orang paling bodoh di dunia yang tertinggal derasnya arus informasi yang membuat semua paham, siapa si A dan siapa si B. Tapi, ini gelombang besar yang kekuatannya bisa seperti Inggris ketika mendominasi musik dunia di 90an. Atau Elvis Presley yang memimpin kereta rock n’ roll menjamah segenap penjuru dunia.

Saya memosisikan ada di luar scene musik K-Pop ini di Indonesia. Saya melihat gerakannya. Ini revolusi budaya.

Korea yang kita –atau mungkin saya— tahu sebelumnya, mungkin hanya sebatas segerombolan pabrik penghasil alat elektronik yang ciamik. Tapi, apa yang kita punya sekarang di buku menu? Musik!

Secara masif, mereka menguasai banyak hidup anak muda di Indonesia. Yang bangun-makan-mandi-keluar rumah-ngerumpi-nonton-tidur semuanya diisi dengan ke-Korea-an. Yang cinta luar dalam sama band tertentu, rela mengoleksi banyak hal dan menangis tersedu-sedu kalau dikecewakan karenanya.

Ada banyak alasan yang bisa digali. Itu juga perlu pembahasan panjang. Obyektifnya bukan itu. Tapi lebih ke memotret sebuah pesta perayaan.

Music Bank Jakarta adalah contohnya. Mengokupasi stadion terbesar di negara ini dan membaptisnya menjadi ladang konser invasi Korea, adalah sebuah perjudian yang besar. Bisa jadi, perhitungan presisinya mendekati, bahwa memang pasarnya ada sebesar itu.

Saya familiar dengan stadion itu. Saya tahu persis perlu berapa banyak orang untuk membuatnya bergelora. Kalau tidak acara partai yang penuh orang bayaran, ya pertandingan sepakbola yang penuh drama. Tidak banyak yang punya nyali untuk menyelenggarakan pertunjukan musik di sana.

Apa sih sebenarnya Music Bank?

Untuk orang awam seperti saya, mungkin penjelasan ini masuk akal:
http://en.wikipedia.org/wiki/Music_Bank_%28TV_series%29

Mungkin pembanding yang paling mudah untuk menggambarkan acara ini adalah Dahsyatnya RCTI. Mungkin.

Dan, ini halaman penjelas yang membuat kita semua sadar bahwa invasi ini datang ke Jakarta:
http://www.kiostix.com/tuk_kiostixevt/kbs-music-bank-world-tour-in-jakarta-2/

Selamat meluangkan waktu. Selamat berencana.

Advertisement

Benar-benar Menyimak Efek Rumah Kaca

Beberapa hari yang lalu, memori membawa kenangan saya lari ke tahun 2008 di Bandung. Waktu itu, Efek Rumah Kaca mengadakan sebuah showcase kecil di Common Room. Dengan kapasitas ruang yang kecil, sebuah gig intim terjadi. Itu tipe gig ideal versi saya di mana pertukaran energi antara yang main musik dengan yang nonton musik terjadi dengan begitu indahnya.

Tulisannya bisa dicek di sini:
http://pelukislangit.multiply.com/journal/item/834/

Dan, ini tahun 2013. Saya sudah berjalan jauh meninggalkan kenangan di tahun 2008 tadi. Begitu juga dengan Efek Rumah Kaca. Sudah begitu banyak hal terjadi di dalam karir mereka. Tapi, kami disatukan lagi di momen dan ruang yang kurang lebih sama; sebuah intimasi yang ditawarkan lewat pertukaran energi antara yang main musik dengan yang nonton musik.

Efek Rumah Kaca versi Pandai Besi

Venuenya ada di kota saya, Jakarta. Ada di Rolling Stone Cafe di kawasan Pejaten. Efek Rumah Kaca memainkan set mereka yang panjang. Bahkan jauh lebih panjang ketimbang apa yang saya rekam dalam kenangan di Common Room nyaris lima tahun yang lalu itu. Total, mereka memainkan dua puluh lima lagu. Materinya diambil dari album pertama, kedua dan album ketiga yang tidak kunjung kelar direkam –dengan berbagai macam alasan, tentu saja—.

Karena sudah tidak berada di ruang dan waktu yang sejenis dalam kurun waktu yang panjang, wajar kalau ada sedikit keterasingan antara saya yang nonton musik mereka dan mereka yang memainkan musik yang saya suka. Wajar, namanya juga lama tidak bertemu dalam momen yang pas.

Saya berkembang jauh sebagai manusia, begitu juga dengan Efek Rumah Kaca sebagai sekumpulan manusia. Perjalanan musikal mereka melintasi banyak sekali potongan adegan di mana statistik mencatat frekuensi manggung yang masih lumayan kencang. Begitu juga dengan ruang aktivisme yang masih dijaga dengan sangat baik. Akan sangat mudah mendapati Efek Rumah Kaca ada di garis depan demonstrasi anti korupsi atau serangkaian benefit gig untuk berbagai macam hal menarik yang masih bisa dirasakan kita yang hidup di dunia tua ini.

Tapi sejatinya, lagu-lagu Efek Rumah Kaca tidak pernah pergi dari mana-mana di dalam sekian banyak relung hidup saya. Ia, terutama beberapa lagu, selalu berputar ketika diminta dan tidak pernah mengecewakan. Kenapa? Ya karena, lagunya membangun hubungan yang intim dengan sendirinya antara kami berdua.

Datang ke pertunjukan khusus dengan garansi set yang panjang adalah sebuah pemuas rindu yang ideal. Saya datang bersama beberapa teman dekat yang memang juga dekat dengan musik Efek Rumah Kaca.

Panggung Rolling Stone Cafe malam itu lumayan sesak di depan. Kami memutuskan untuk mencoba peruntungan di lantai atas. Kami datang ketika Efek Rumah Kaca sedang memainkan lagu pembuka. Telat, tapi masih banyak lagu menunggu di depan.

 

Efek Rumah Kaca yang benar

Selain sosok Efek Rumah Kaca yang saya kenal, juga ada penampilan Pandai Besi di sela-sela set. Sebelumnya, saya kelewatan penampilan alter ego ini. Informasi yang saya dapat sebelum menyaksikannya langsung kemarin bilang bahwa Pandai Besi konon merupakan penyaluran kebosanan masing-masing orang di Efek Rumah Kaca akan padatnya jadwal dan materi yang itu-itu saja. Sangat bisa dimengerti.

Menjadi touring artist dengan frekuensi panggung yang lumayan banyak dan materi yang itu-itu saja, tentu saja membosankan. Ini sangat bisa dimengerti. Terlebih ketika menyadari bahwa kamu –misalkan kamu ada di dalamnya— adalah tipe musisi yang suka mencoba hal baru. Pendekatan referensi apa yang didengarkan mengambil peran penting untuk penentuan arah mana yang dituju dalam kegiatan coba-coba ini. Pandai Besi menarik perhatian saya kendati dari sudut pandang yang berbeda.

Efek Rumah Kaca menghadirkan Muhammad Asranur di keyboard dan Agustinus Panji Mahardika di trumpet. Sementara, Andi Hans ada di gitar kedua, berduet bersama Cholil Mahmud. Posisi bass sekarang dipegang oleh Poppie Airil yang menggantikan Adrian Faisal. Akbar Sudibyo masih setia memainkan drum.

Formasi enam orang ini menyebut diri mereka Pandai Besi. Memainkan lagu-lagu Efek Rumah Kaca yang telah melalui proses rekonstruksi yang hebat; langgam diganti sehingga membuat kamu harus mengernyitkan dahi untuk mengenali ini lagu apa, lalu dentingan dua gitar yang memberi ruang yang sangat lebar untuk kekhasan permainan Andi Hans yang sangat shoegaze dan banyak elemen papan kunci yang mengisi lini belakang penampilan mereka.

Kekaguman ada di seluruh lini impresi yang muncul setelah mendengarkan satu atau dua aransemen pertama Pandai Besi di konser dengan tiga babak itu. Tapi, setelahnya, saya merasakan ketidaksepakatan di dalam diri saya dengan impresi pertama tadi.

Pandai Besi memainkan aransemen yang sangat melelahkan untuk dicerna sisi diri saya yang mencintai Efek Rumah Kaca yang sederhana. Terlebih setelah dua lagu favorit saya yang mungkin juga sudah terlalu sering mereka mainkan ditampilkan dengan versi Pandai Besi; Lagu Kesepian dan Desember. Walau kemudian Desember dimainkan dua kali dengan versi biasa sebagai encore pertunjukkan.

Konser kemarin berlangsung sekitar dua setengah jam. Itu sudah lebih dari cukup untuk seorang penggemar berat. Hampir semua lagu mereka dimainkan, termasuk beberapa komposisi yang sudah lama ditinggalkan dari set reguler.

Dari tiga babak yang ditampilkan, ada dua sisi diri saya yang jelas-jelas mengambil jarak. Yang satu bersorak-sorai ketika lagu dengan aransemen sederhana dimainkan, yang satunya mendadak menjadi pendiam dengan tatapan kosong ketika Pandai Besi mengambil alih panggung.

Mereka yang menyimak

Di tulisan yang linknya saya berikan di atas, saya mengulas kenapa saya mencintai Efek Rumah Kaca dan kenapa saya dulu memprediksi mereka seharusnya bergabung dengan major label untuk menjadikan musik mereka lebih dikenal orang. Tulisan itu tidak terbukti dan prediksi saya salah besar. Tapi tidak dengan rasa cinta saya sama band ini. Dan, saya tidak cinta Pandai Besi.

Mungkin juga ya, ini adalah strategi mereka untuk menjadikan publik punya perkenalan awal yang cukup untuk album ketiga mereka. Konon katanya, ada banyak materi berdurasi panjang ala-ala rock progresif. Pure Saturday melakukan perubahan drastis dan mengejar apa yang mereka suka di album baru dan itu tidak memenuhi selera orang banyak. Saya takut Efek Rumah Kaca akan terjerembab di posisi yang sama.

Memang, tidak pernah menjadi masalah untuk saya dan orang-orang yang ada di scene independen di mana pendekatan artistik seringkali ada di atas permukaan, bahkan di atas segala-galanya. Tapi, penting rasanya mengingatkan mereka bahwa ada banyak orang seperti saya yang mencintai mereka dengan kemasan yang sederhana. Seperti apa yang membuat mereka dikenal luas.

Perjuangan untuk mengejar apa yang disuka dalam hidup, tidak pernah salah. Tapi, ada pertanggung jawaban yang lebih ketika itu melibatkan perasaan orang lain.

Secara umum, pertunjukan Efek Rumah Kaca yang kemarin di Rolling Stone Cafe berlangsung dengan baik. Saya menyimpan kecewa, walau hanya untuk malam itu saja. Tapi tidak untuk masa depan.

Semoga album berikutnya tetap menarik. Oh, dan jangan salah sangka, saya tetap menaruh hormat yang sangat besar atas eksplorasi seni yang mereka lakukan. Kendati karenanya saya jadi benar-benar menyimak Efek Rumah Kaca, bukan menikmatinya seperti biasa. (pelukislangit)
Rumah Kalibata
26 Januari 2013
Nyaris lima tahun setelah tulisan panjang pertama saya tentang Efek Rumah Kaca
11.02 WIB

Bintang Tujuh untuk Rock Bergema (A Story Behind the Rock Anthem)

Saya baru saja menonton Rock Bergema (A Story Behind the Rock Anthem). Film dokumenter ini, bercerita tentang Roxx, band rock legendaris Indonesia di awal kemunculannya. Durasinya hanya dua puluh lima menit.

Saya mendapatkannya dengan membeli Majalah Hai edisi terbaru. Majalah Hai adalah majalah anak muda yang selalu ada di garis depan untuk urusan anak muda. Dalam beberapa peran, saya punya keterhubungan yang dalam dengan majalah ini.

DVD film ini dibagikan gratis sebagai bonus majalah, bersisian dengan film yang ‘garing’ untuk saya tentang album terbaru band rock asal Jogjakarta, Endank Soekamti.

Membeli Majalah Hai edisi terbaru ini, sejatinya jadi pengalaman pertama saya dalam beberapa tahun terakhir. Sudah terlalu lama saya tidak membeli Majalah Hai, karena memang secara nyata majalah ini sudah tidak bisa lagi memfasilitasi kebutuhan pribadi saya. Bukan karena isinya tidak bagus, hanya saja saya sudah keluar dari segmentasi mereka.

Film Rock Bergema (A Story Behind the Rock Anthem) sendiri adalah film yang sangat menarik. Film ini adalah sebuah genangan kenangan yang begitu indah untuk dinikmati. Ada banyak eksponen rock yang berkontribusi di sini.

Yang paling menarik sebenarnya adalah mengawali ceritanya dengan kontroversi antara Riri Riza dan Abdee Negara, gitaris Slank. Bisa disimak di sini:

http://www.salingsilang.com/baca/kisruh-komentar-slank-cemen-di-video-dokumenter-roxx-

Film ini terpromosikan secara viral lewat kontroversi; Abdee Negara menganggap bahwa komentar Riri Riza tidak pada tempatnya. Lewat serangkaian proses, akhir masalah ini tidak keren menurut saya; satu sama lain terjebak pada proses penuh respek ala duet tipikal di panggung televisi di mana di bagian akhir kolaborasi satu sama lain menyebutkan nama lawan kolaborasinya.

Padahal, seharusnya permasalahan dibawa ke ranah yang lebih ideal. Bagaimana? Tonton dulu filmnya lengkap dan kemudian imaji yang bisa direkam niscaya akan lebih komplit.

Saya sudah menontonnya. Dan rasanya, tidak tepat kalau Abdee Negara merasa tersinggung. Secara kontekstual, film itu bilang bahwa Roxx di dalam masa jayanya, itu luar biasa mengacak-ngacak industri musik dan terlihat lebih dari Slank di masa itu.

Frase ‘di masa itu’ memberikan sebuah pemahaman jelas bahwa parameter mengukurnya adalah keadaan saat itu di mana Roxx adalah nama yang sudah lebih dulu berkibar sementara Slank adalah pemain pendatang baru yang masih belum jadi apa-apa. Periodenya tahun 90an awal.

Abdee Negara menurut saya terlalu sensitif. Tentu saja, kedatangannya ke dalam formasi Slank yang sekarang ini sama sekali jauh dari  pengertian kata cemen. Buat saya, Slank adalah band rock lokal paling besar untuk generasi saya. Sepanjang masa.

Tidak perlu meragukan Slank sama sekali. Karena memang tidak ada yang perlu diragukan dalam tubuh Slank. Dia ada di kapal besar yang akan melibas siapapun yang akan menghalangi.

Abdee Negara datang di periode Slank merilis album Tujuh, kalau tidak salah tahun 1997. Saat itu, Slank ada di dalam prahara besar di mana tiga nama trengginas di dalam formasi album 1-5 pergi (atau dibuat pergi) dan mereka sedang menata ulang kerajaan yang rusak sedikit.

Sementara yang dibahas di film itu adalah periode awal di mana Abdee Negara tidak ada di dalam Slank. Tidak nyambung untuk menjadi sensitif terhadap komentar Riri Riza.

Roxx sendiri di jamannya adalah revolusi musik. Ini juga diamini oleh dua orang mantan personil Slank album 1-5, Parlin Burman dan Indra Qadarsih.

Selain dua orang ini, ada sederet nama lain lagi yang menceritakan revolusi musik rock Indonesia yang diusung Roxx di awal kemunculannya. Selain tentunya menceritakan asal-usul nan membosankan sebuah band. Umm, membosankan karena terlalu tipikal dan bisa ditemukan di banyak film dokumenter musik tentang sebuah band.

Film ini adalah sebuah pelajaran penting untuk kamu yang akan memutuskan untuk menyerahkan jiwa pada rock n’ roll. Kisah Roxx adalah sebuah kisah pemberontakkan sederhana yang sudah teruji ruang dan waktu untuk kemudian diakui sebagai sebuah fenomena sejarah yang bagus.

Komentar-komentar hari ini dari personil Roxx rasanya sedikit klasik, apalagi kalau dilihat secara visual bertemankan kerutan wajah di wajah mereka. Ketika misalnya, mereka memuja permainan ajaib Arry Yanuar, drummer asli mereka yang sudah meninggal dunia, terasa bahwa memang konfirmasi kehebatan yang bersangkutan.

Intro legendaris Rock Bergema memang ikonik. Ini disetujui oleh banyak orang yang dijadikan narasumber dokumenter ini. Terdengar sederhana, tapi tidak sederhana sesungguhnya.

Generasi 90an meletakkan fondasi yang signifikan untuk peta musik rock Indonesia. Sumbangsihnya besar untuk berbagai macam keajaiban yang terus menerus bisa dijaga kehadirannya oleh musik rock.

Dan yang makin menarik menemukan bahwa kabar bagus tentang kehadiran Roxx di peta musik Indonesia ini disebarluaskan oleh Majalah Hai, yang juga agen anak muda paling canggih yang dimiliki negara ini.

Semoga pasar musiknya Majalah Hai bisa setidaknya mengetahui Roxx dan karya-karyanya yang tidak akan lekang dimakan waktu. Film dokumenter ini sangat direkomendasikan. Silakan cari Majalah Hai edisi terbaru atau siap-siap menyesal kalau ia sudah hilang dari pasaran. (pelukislangit)

 

3 November 2012/ Reading Room, Jakarta/ 18.16 WIB/ Disclaimer: Saya adalah penggemar Slank. Kalau ngadat, ayo adu pengetahuan tentang Slank.

Boneknya Persebaya Surabaya dalam Kemasan Akademisi yang Jelek

Sesungguhnya, menemukan buku tentang sepakbola lokal, adalah sebuah pencapaian tersendiri untuk mengisi pengalaman saya keluar masuk toko buku. Sejak kecil, lingkungan saya memosisikan toko buku sebagai tempat untuk berekreasi, apapun subyek buku yang dicari. Jadi, sampai saat ini, tempat ia berada ada di posisi yang sama dengan toko cd atau toko olahraga.

Jadilah, Jumat malam kemarin saya masuk ke Gramedia di Grand Indonesia. Salah satu gerai Gramedia yang paling saya suka karena tadinya mereka menyediakan coffee shop yang punya pemandangan luar biasa –karena bisa langsung melihat ke Bundaran HI—. Tadinya? Ya, sekarang coffee shop di lantai tiga itu sudah kandas. Entah apa alasan pastinya. Gramedia sudah tidak lagi punya ruang dua lantai di mall itu. Sekarang hanya tinggal satu lantai.

Anyway, alasan saya masuk ke Gramedia adalah membeli soundtrack Perahu Kertas. Tapi di rak best seller, saya menemukan buku tentang Bonek, akronim dari Bondo Nekat (Frase dalam Bahasa Jawa yang artinya modal nekat, dalam Bahasa Indonesia). Bonek adalah salah satu kelompok suporter paling besar di negara ini. Beberapa waktu sebelumnya, informasi tentang keberadaan buku ini masuk ke dalam hidup saya via Twitter. Singkat kata, tanpa banyak pertimbangan, saya juga membeli buku ini.

Sesampainya di rumah, tanpa ganti baju, tanpa melepaskan kaos kaki dan segenap ritual beres-beres lainnya, saya langsung membuka segel plastik buku ini dan mulai membacanya.

Biasanya, fase membaca saya dimulai dengan halaman belakang yang berisi quote orang lalu membaca profil penulisnya untuk kemudian memulai dengan kata pengantar. Penjelasan penulis di kata pengantar sudah bisa membawa intuisi saya berpikir secara instan: Buku ini pasti ditulis oleh akademisi.

“Wah, nilainya pasti lebih nih,” pikir saya dalam hati. “Akademisi mau menulis tentang sepakbola lokal?” tanya saya lagi. Ini awalan yang bagus, menurut saya. Mungkin sama halnya tentang akademisi menulis musik –walaupun kalau gayanya diulang-ulang jadinya membosankan—. Semua hal bisa menjadi topik yang serius. Semua hal bisa dikaji dengan baik, kalau memang mau. Jadi, mau topiknya ringan atau berat, sebenarnya bisa diperlakukan dengan pilihan yang manapun. Balik lagi, semuanya tergantung penulis.

Sebelum lebih jauh, sebaiknya saya jabarkan dulu ekspektasi apa yang saya inginkan dari buku ini. Membaca judul yang sederhana seperti ini: Bonek – Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia, pikiran saya langsung mengembara ke ranah di mana cerita tentang Bonek dirajut; bagaimana ia terbentuk, apakah stigma buruk yang selama ini erat melekat itu benar adanya, bagaimana cerita tur away mereka jauh dari Surabaya rumah mereka dan masih banyak hal sederhana yang terjadi di level akar rumput lainnya.

Sepakbola lokal adalah teman baik saya. Saya pendukung Persipura Jayapura, tapi selalu menarik untuk melihat fenomena yang ada di kelompok suporter yang lain. Seorang teman baik yang kebetulan pernah menjadi korlap (akronim dari koordinator lapangan) The Jak bahkan pernah bercerita bagaimana ia mengawal anak buahnya dari daerah rumah sampai dengan stadion, termasuk bagaimana proses mendapatkan tiket suporter dan mengorganisir away days mereka.

Waktu tinggal di Bandung dulu, saya sempat ada di kelompok main bola yang sama dengan Herru Joko, pentolan kelompok suporter Viking yang kalau jalan sebentar saja, sudah disapa orang lokal saking terkenalnya. Saya juga berteman dan melihat proses tumbuhnya Budi Bram, ketua panitia pelaksana Persib Bandung sekarang ini, karena dulu kami ada di scene musik yang sama.

Saya, karena urusan pekerjaan, juga berurusan dengan dua tim terbesar di Indonesia. Begitu juga dengan adegan mencuri waktu pergi ke Sidoarjo menonton Persipura Jayapura yang sedang akan memastikan gelar juara –walaupun kali itu gagal terjadi di Sidoarjo—liga di tengah pekerjaan kantor di Surabaya.

Singkatnya: Topik sepakbola nasional ini saya pahami betul. Saya tahu dengan baik gambarannya seperti apa, tindak-tanduknya seperti apa.

Jadi, ketika ada menu berbahan dasar Bonek di atas meja, sudah barang tentu saya tertarik. Makanya harapannya sudah diatur untuk agak sedikit tinggi. Pertama, karena memang rasanya belum ada buku yang membahas kelompok suporter secara spesifik. Kedua, karena memang Bonek itu menarik, militansi mereka papan atas dan fanatismenya luar biasa. Ketiga, Bonek jadi subyek hangat di dalam proyek saya bulan Juli lalu di Surabaya. Keempat, saya ingin tahu bagaimana sebenarnya mereka berjalan di dalam aktivitas harian karena saya –jujur— tidak suka Persebaya Surabaya dalam hal preferensi sepakbola.

Cukup untuk intro panjangnya. Saya mengikuti gaya penulisan ilmiah yang punya banyak latar belakang, walaupun tentu saja saya kurang punya kemampuan menulis ilmiah dah cenderung mendengarkan hati ketimbang melampirkan catatan kaki bejibun yang malah bikin pusing orang yang membacanya.

Buku ini mengawali cerita dengan bercerita panjang lebar tentang sejarah kekerasan di sepakbola. Mengambil obyek penelitian Tragedi Heysel yang berpihak pada penjelasan penjahatnya suporter Liverpool. Tentu saja selalu ada dua sisi mata uang yang bisa dijadikan kajian. Tidak masalah untuk ini.

Penulis juga memotret peran pemerintah Inggris lewat berbagai macam kaki tangannya untuk membuat sepakbola mereka lebih baik.

Tapi sayang ada beberapa fakta melenceng: Penulisan Margaret Thatcher yang berantakan, lalu larangan tampil untuk klub Inggris yang sedikit salah (seluruh klub Inggris dilarang tampil di Eropa karena Tragedi Heysel selama lima tahun, sementara Liverpool sembilan tahun tapi hanya menjalani hukuman enam tahun saja), korban Tragedi Heysel (penulis menyebutkan semua korban adalah pendukung Juventus, padahal ada enam pendukung Liverpool kehilangan nyawanya di pertandingan itu).

Maksudnya baik, menggambarkan sejarah hooligansime yang memang marak di Eropa lalu kemudian menyangkutpautkannya dengan apa yang terjadi di Indonesia pada masa yang sama. Tapi rasanya jadi tidak maksimal.

Penulis mengambil Inggris sebagai ladang penelitiannya. Tapi, dia tidak mengambil contoh, misalnya, Milwall FC yang secara tradisional dikenal sebagai biang keroknya hooliganisme di Inggris. Contoh yang diambil adalah Liverpool dan Manchester United yang populer di Indonesia. Padahal, di era itu, Manchester United belum jadi sebesar sekarang.

Bagian ini, benang merahnya satu: Risetnya tidak tepat.

Lalu kemudian buku ini membawa saya jalan ke kisah awal terbentuknya Bonek. Ini menarik, sebenarnya. Campur tangan media lokal, Jawa Pos, digambarkan begitu besar pada proses ini. Salah satu faktor pendorongnya adalah bahwa beberapa awak Jawa Pos adalah penggemar Persebaya Surabaya itu sendiri. Lalu Dahlan Iskan, pentolan Jawa Pos, menyaksikan langsung perilaku penggemar Chelsea di London yang menurutnya bisa diadopsi kepada penggemar Persebaya. Terutama untuk bagian marching menuju stadion.

Intinya, peran media besar untuk memperkenalkan konsep “Tret, tret, tret” yang bisa diterjemahkan sebagai rangkaian away days awal penggemar Persebaya Surabaya. Kemudian juga punya nama khusus Bonek.

Nama Bonek ini dijelaskan dengan penjelasan yang sangat empiris dan mudah diterima. Begitu juga diferensiasinya dengan banyak penggemar klub lain yang mulai terbentuk nyaris satu dekade kemudian di pertengahan 90-an.

Saya mendapatkan informasi penting tentang sejarah terbentuknya Bonek. Sesuatu yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Jadi, ada poin plus di sini. “Langit cerah datang,” pikir saya dalam hati lagi. Setelah awalan yang buruk, sudah sepantasnya buku ini memberikan harapan ketika penjelasan dasar tentang apa itu Bonek menemui ekspektasi saya.

Tapi, seiring berjalannya kisah membaca saya, harapan itu ternyata palsu. Penulis mengulang-ulang apa yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Setidaknya ada empat kali Tragedi Heysel yang jadi sumber bencana bagi sepakbola Inggris diulas dengan penjelasan yang sama, lengkap dengan kehadiran sosok Margaret Thatcher –atau Margaret Teacher menurut penulis— dan peranannya.

Begitu juga dengan pengulangan bagian Dahlan Iskan yang mengambil inspirasi dari penggemar Chelsea atau asal muasal konsep “Tret, tret, tret”. Repetisi ada di mana-mana. Dan itu tidak menyenangkan untuk dibaca.

Gaya penulisan yang terlalu ilmiah juga membuat kening saya mengernyit sekaligus bertanya, “Apakah buku ini akan diterima dengan baik oleh pembacanya?”

Rasanya ada banyak orang yang sama seperti saya. Konsep sepakbola itu menyenangkan; rekreasional, penuh fanatisme kedaerah, aksi-aksi heroik dan mengajarkan fair play yang bisa diadopsi dengan mudah oleh hidup sehari-hari. Tapi penulis memilih untuk menggunakan gayanya yang sangat akademisi –belakangan saya diinformasikan oleh salah satu follower di Twitter bahwa si penulis ini dosen—ketimbang gaya populis untuk membuat buku ini bisa diterima oleh orang yang lebih banyak kuantitasnya. Sayang, seribu sayang.

Membaca tentang Bonek, tidak perlu catatan kaki yang diambil dari berbagai macam literatur asing yang kesannya njelimet. Saya punya beberapa referensi bacaan dengan topik sepakbola, kebanyakan tentang Liverpool, tapi semuanya enak untuk dibaca. Kaya akan data juga, kaya akan rekaman sejarah, tapi tidak perlu melampirkan catatan kaki.

Saya menempatkan bacaan model begini sebagai teman menjelang tidur, teman mengisi kekosongan di perjalanan atau teman ketika liburan. Tapi, dengan pengemasan yang seperti ini, tentu saja saya tidak akan merekomendasikan buku ini kepada teman yang punya ketertarikan yang sama.

Bonek yang hebat itu, tidak perlu dibingkai dengan kacamata akademis yang malah membuat sosok komunitasnya tidak terjangkau oleh orang banyak.

Kenapa, misalnya, tidak membahas bagaimana korwil-korwil terbentuk. Bagaimana, secara detail digambarkan demografis orangnya seperti apa. Atau bagaimana kekonyolan mereka di jalanan demi mendukung Persebaya Surabaya.

Kalau boleh mengambil perbandingan –maafkan saya, penggemar Persebaya Surabaya—, apa yang disajikan oleh pembuat film Andi Bachtiar Yusuf ketika memotret sosok Yuli Soempil, dirigen Aremania lewat film The Conductors itu sangat sederhana. Pesan yang ingin disampaikan dalam usaha itu terkirim dengan baik. Itu yang tidak saya dapatkan dari buku ini.

Saya menyelesaikan buku ini dalam dua jam. Bukan karena bukunya menarik, tapi lebih ke bagaimana akhiran buku ini. Bagian terakhir diberi judul “Penutup”. “Wah, makin gila nih lama-lama,” pikir saya lagi. Seperti baca skripsi rasanya.

Tentu saja, bukan kesan itu yang ingin saya cari dari buku ini. Saya kecewa. Tapi lebih kepada bagaimana kemampuan penulis untuk membungkus apa yang ada di dalam pikirannya.

Sejujurnya, senang menyaksikan bahwa sepakbola lokal sudah punya tempat di rak toko buku. Semoga akan ada lebih banyak buku-buku seperti ini di pasaran ke depannya. Dan, saya siap membaca.

Terakhir –mengadopsi konsep “Penutup” tadi—, saya tidak merekomendasikan buku ini. Bonek layak diperlakukan lebih baik dari penjabaran yang ada di dalam buku ini. Saya sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri potensi yang mereka punya. Buku ini terlalu dangkal dan kerdil. Sekali lagi, sayang seribu sayang. (pelukislangit)

 
Sabtu, 25 Agustus 2012
Rumah Kalibata, 11.31 AM
Kecewa yang masih ada walaupun sudah dibawa tidur, berarti kecewa yang benar-benar kecewa.

Bertaring dan Semakin Tajam

Review album terbaru Seringai, Taring

Di atas semua alasan, menemukan Seringai kembali mempromosikan rilisan baru sudahlah lebih dari cukup. Penantian berlangsung terlalu lama semenjak Serigala Militia dirilis tahun 2007 yang lalu.

Lima tahun kalau dikonversi menjadi satuan hitungan hari berarti sudah mendekati 2000 putaran. Tidak sebentar, tentu saja. Tapi, hari ini mereka kembali. Jadi, apapun alasan lama waktu penantian tadi sudahlah tidak penting. Toh, hari ini sudah mencatat bahwa Seringai sudah punya rilisan baru untuk publik luas. Judulnya Taring.

Taring sudah mengalami perjalanan panjang untuk sampai mampu menyimak dan menyibak indahnya kehidupan manusia. Ia punya segala macam standar produksi tinggi yang diset oleh masing-masing personil Seringai; artwork kelas dunia milik Arian13, suara riff gitar yang begitu khas ala Ricky Siahaan, celotehan realistis Edy Khemod di sleeve notes dan versi cerdas lainnya milik Sammy Bramantyo.

Keempat kepala di balik tubuh Seringai ini punya sinergi yang luar biasa liar. Masing-masing orang punya kelebihan yang saling melengkapi dan ketika mereka memainkan sihirnya, gelora energi menyeruak dengan jumlah yang dahsyat.

Taring adalah buktinya. Mendengarkannya dari detik pertama sampai detik terakhir punya impresi mendalam yang sudah barang tentu tidak mudah didapati dari band rock semenjana. Taring punya rasa spesial, bagaikan kawan lama yang datang membawa produksi baru pabrik lamanya. Kualitas teruji dan tidak perlu dipertanyakan barang sedetikpun.

Mereka paham, sepaham-pahamnya, akan apa yang mereka lakukan. Arah perjalanannya jelas dan –setelah melakukan wawancara untuk kepentingan lain— memang konsepsi yang dikandung oleh Taring ini telah melewati serangkaian proses berpikir yang matang. Lengkap pula dengan berbagai macam perdebatan internal di dalamnya.

Mendengar Taring, tanpa ragu-ragu, gugusan waktu yang begitu lama tadi seolah runtuh pergi bersama progresi kord yang luar biasa cadas sekaligus lirik bernas milik salah satu penulis lirik paling hebat di tanah ini, Arian13. –Percayalah, saya sudah berkenalan dengan tulisannya sejak tahun 1996–.

Standar tinggi yang diset itu tentu saja bisa dipertanggungjawabkan dengan mudah; album terjual bak kacang goreng di beberapa hari pertama. Edisi deluxe Taring bahkan usia ketersediaannya tidak lewat dari dua hari. Dan permintaan terus mengalir. Sekarang sudah masuk angka produksi 6000 –belum terjual habis, tapi rasanya akan—.

Menjual album rock dengan jalur distribusi tradisional model begini di jaman sekarang bukan hal mudah. Baca review di mana-mana, fakta ini sudah diulas berkali-kali. Perlu kerja keras yang spartan sekaligus komitmen tinggi untuk bisa mendapatkan hasil yang sedahsyat itu.

Dari lini materi, ada banyak eksplorasi yang dilakukan keempat personil Seringai. Kendati, sekali lagi, mereka punya pattern yang sama untuk penyusunan urutan lagu dengan Serigala Militia. Anda akan menemukan intro menyayat model Lycanthropia di lagu Canis Dirus atau nada anthemic model Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan) atau Serigala Militia dalam sosok Taring dan juga tidak ketinggalan lagu trippy seperti Marijuanaut dalam perwujudan Gaza.

Kalau kalian mengikuti Seringai sejak karya-karya awal mereka, tentu rasa mendengarkan album ini seperti temu kangen dengan kawan lama. Seperti sudah disinggung di atas, ada banyak repetisi dan sejumlah eksplorasi baru. Tidak perlu dipertanyakanlah.

Sebaliknya, kalau kalian baru mendengarkan Seringai, cobalah untuk menggenggam sleeve albumnya di saat yang bersamaan. Supaya efek kuratorial yang muncul, misalnya, ketika melihat sebuah pameran seni ada bersama kamu. Jangan mengopi dari kawan dalam versi digital. Kenapa? Karena sesungguhnya, mendengarkan Seringai dalam kemasan yang lengkap itu akan punya kesan mendalam.

Pastikan musiknya berputar kencang lalu kemudian larik-larik lirik di sleeve albumnya masuk ke radar baca kalian. Niscaya sebuah pengalaman seru akan mampir. Paket lengkap yang –sekali lagi— bernas menanti; musik, lirik dan artwork yang memanjakan indra visual.

Intinya, ini Seringai. Dan mereka adalah tipe band favorit yang berhak dicintai sebuta-butanya. Walaupun orang menunggu lama, tapi yang dikirimkan ke hidup begitu mereka muncul lagi, sungguh sangat berkesan.

Buat saya pribadi, Taring memperpanjang alasan logis untuk menjadikan Seringai band dengan memorabilia paling banyak dalam hidup saya. (pelukislangit)

 
*) Sebagian besar bagian review ini ditulis 14 Juli 2012 di dalam pesawat Jakarta – Kota Kinabalu dengan menggunakan iPhone. Ini membuat review album ini menjadi yang pertama yang ditulis dengan menggunakan telepon genggam. Dilanjutkan 29 Juli 2012 di rumah Kalibata. Ini merupakan adegan pelengkap tulisan profil Seringai yang sedang saya kerjakan untuk The Jakarta Post. Foto diambil dari sesi foto untuk artikel tersebut.

Sepakbola, Musik dan Rumah

Beberapa akhir pekan yang lalu, saya menulis sebuah tweet:

Menarik rasanya kemudian berpikir lebih lanjut dan menuliskan ceritanya. Karena memang, sepakbola, musik dan kemudian tentu saja rumah, memang memberikan banyak hal penting untuk saya. Jadi, ketika kemudian seluruh hal itu berpadu-padan di dalam waktu yang sempit, kenangan yang ditimbulkan lumayan berbekas.

Hal pertama yang terjadi adalah sepakbola. Sepakbola, dalam beberapa minggu ini, membawa saya mengembara ke banyak wilayah-wilayah yang tidak pernah berani saya bayangkan sebelumnya. Kantor tempat saya bekerja mengambil peranan penting untuk memberikan pengalaman-pengalaman ini.

Kalau kamu menebak ini tentang Piala Eropa, tidak. Salah. Yang ini tentang tim sepakbola bernama Queens Park Rangers atau disingkat QPR. QPR adalah tim sepakbola Liga Inggris yang disponsori oleh AirAsia. QPR akan bermain di Surabaya, bagian dari tur pertama kali dalam sejarah mereka ke Asia. Tentu saja lagi, kantor yang mensponsori kedatangan mereka ke kawasan ini.

Saya diberi tanggung jawab untuk mengurusi proyek ini. Setelah sejumlah persiapan tahap awal, akhir pekan kemarin ada sebuah kunjungan survei dari tim QPR ke Surabaya. Sebelumnya mereka juga melakukan hal yang sama di Kuala Lumpur dan Kota Kinabalu, dua kota lain yang juga akan disinggahi di dalam tur kali ini.

Yang datang dalam rombongan pertama ini adalah tiga orang staff klub yang ternyata berhasil membuat saya dalam posisi begitu dekat dengan sumbu sepakbola dunia. Awalnya, saya berpikir bahwa liburan saya ke tanah Inggris tahun lalu itu sudah cukup membuat saya dekat sebagai seorang penggemar sepakbola. Ternyata tidak. Dalam tempo beberapa bulan kemudian, alam raya membuat saya menjadi lebih dekat lagi.

Ketiga orang tersebut adalah Euan Inglis (commercial director), Damian Roden (head of performance club) dan Caroline Shea (PA of Mark Hughes). Awalnya, saya pikir mereka hanya staff biasa yang dikirim untuk melihat persiapan tur dan mengecek segala sesuatunya. Ternyata setelah berdiskusi dengan mereka dan kemudian berbincang tentang peran dan fungsi mereka sehari-hari, semuanya tidak sederhana.

Damian Roden adalah nama yang ternyata –setelah mengecek di Google— pernah bekerja dengan almarhum Gary Speed di tim nasional Wales. Ia juga terlibat dalam masa bakti Mark Hughes di Blackburn Rovers. Ia bisa disebut punya pengalaman banyak di dalam bidang sports science.

Nama yang juga membuat saya takjub adalah Caroline Shea. Ia asisten pribadi Mark Hughes yang sudah berbakti di QPR sejak 14 tahun yang lalu. Ia mengalami banyak perubahan rezim di dalam klub itu. Mulai dari jaman Bernie Ecclestone – Flavio Briatore sampai Neil Warnock dan Tony Fernandes.

Yang satu lagi, Euan Inglis, adalah orang yang mengurus sisi bisnis klub dan diserahi tanggung jawab besar untuk membuat segala sesuatunya menjadi kenyataan. Ia bertanggung jawab untuk seluruh deal yang berurusan dengan uang dan pengelolaan hak pertandingan. Jadi, di dalam kunjungan ini, ia lebih berurusan dengan aspek komersial seperti tayangan langsung, harga tiket, isi stadion dan banyak hal lainnya yang beririsan dengan bidang komersial.

Ada banyak faktor yang mereka cek di Surabaya kemarin. Yang paling penting adalah memilih hotel tempat tim tinggal dan kemudian melihat fasilitas lapangan yang disediakan oleh promotor.

Tugas saya sederhana, mengawal kepentingan kantor saya berkaitan dengan sisi komersil yang masuk di dalam rencana besar rangkaian tur ini. Jadi, saya tidak perlu terlalu detail mengurus teknis pertandingan karena memang itu tidak masuk di dalam rangkaian tugas yang harus saya selesaikan.

Lalu kemudian, karena satu dan lain hal, saya pun harus bertugas menjadi penerjemah untuk mereka. Kebetulan waktu dan ruang juga memungkinkan. Jadilah, saya bolak-balik ke Gelora Bung Tomo dua kali sepanjang akhir pekan kemarin.

Terlepas dari mereka bermain di sisi liga yang mana –liga yang mereka mainkan tidak kompetitif—, Persebaya Surabaya harus berterima kasih pada pemda Jawa Timur yang membangun Gelora Bung Tomo. Stadion megah itu sejatinya punya kualitas yang bagus di dalamnya. Fasilitasnya lumayan lengkap hanya saja sisi luar stadionnya masih belum sepenuhnya komplit.

“Itu dipaksakan diresmikan, pak,” kata supir mobil sewaan yang kami gunakan di akhir pekan kemarin. Bisa jadi, yang ia katakan benar. Karena sepanjang mata memandang, fasilitas di luar stadion sama sekali minim. Parkir yang jauh, lalu ilalang yang tumbuh di mana-mana, belum lagi beberapa pintu yang sudah kena rusak oleh Bonek yang memaksa masuk ke dalam pertandingan tertentu. Standar Indonesia kalau dipikir; dikasih fasilitas bagus tapi selalu punya masalah mental dalam pemeliharaan dan menjaganya tetap bagus.

Semua survei yang dilakukan kemarin berlangsung lancar. Sepanjang bulan Juli 2012 ini, fokus kerja saya ada di proyek ini. Sangat menantang dan tidak sabar menunggu tanggal 23 Juli 2012 tiba.

Setelah menghabiskan dua hari di Surabaya, saya memutuskan untuk bertolak ke Bandung dengan penerbangan langsung kantor. Tujuannya konser Dear Friends Mocca di Teater Tertutup Taman Budaya Dago.

Karena weekend dan hari libur, tiket dengan maskapai lain sudah melambung tinggi. Jadi, bos saya sama sekali tidak keberatan begitu saya mengajukan rute pulang yang model begini. Karena memang menghemat waktu dan juga membuat segala sesuatunya lebih enak untuk semuanya; budget hemat dan saya juga praktis langsung tiba di Bandung.

Saya punya misi untuk menyaksikan mereka bermain kembali dan menuliskan ceritanya untuk minggu depan. Terlepas dari tugas yang menanti, menyaksikan Mocca kembali bermain itu lumayan menyenangkan.

Saya pergi bersama Anis Suryo, teman sehati saya kalau sudah berurusan dengan konser musik. Anis datang bersama salah seorang temannya dan menjemput saya di Bandara Husein Sastranegara yang tukang taksinya amit-amit cabang bayi.

Karena ada keterlambatan penerbangan, saya baru tiba satu jam setelah jadwal asli. Supir taksi yang membawa saya ke tempat konser menyebalkan. Sepertinya ia tidak punya hasrat untuk mengerjakan profesinya. Lumayan bikin mangkel sih, tapi ya namanya harus tiba cepat ke lokasi, apa boleh buat harus dinikmati.

Kami tiba di lokasi konser sedikit telat, kurang lebih tiga puluh menit. Ketika tiba, Mocca sedang memainkan Hyperballad, lagu kover yang aslinya dinyanyikan oleh Bjork. Segera setelah mengurus akreditasi, saya memasuki ruangan konser.

Mocca bermain di depan crowd mereka sendiri. Sejumlah fans fanatik ada di barisan depan. Rasanya lumayan asing untuk saya. Mocca yang saya saksikan di depan mata semalam itu, adalah band yang sudah mengembara ke banyak ranah semenjak perpisahan bisnis saya dengan mereka tahun 2008 lalu.

Sepanjang masa bakti saya di FFWD Records, saya berurusan lumayan sering dengan mereka. Termasuk di dalamnya jalan ke banyak kota untuk mengawal proses promosi yang dijalankan band ini. Interaksi yang lumayan banyak ini membuat saya lumayan paham karakter bandnya. Tapi, yang kemarin saya saksikan adalah Mocca yang berbeda.

Dari segi kualitas permainan, mereka tetap juara kelas. Yang jadi menu utama yang menurut saya hal paling penting malam itu adalah menyaksikan Arina Ephiphania bermain di posisinya.

Dalam wawancara yang saya lakukan setelah pertunjukkan, masing-masing anggota bandnya tidak punya ekspektasi banyak akan masa depan dengan nama Mocca. Arina pun akan kembali ke Amerika bulan Juli 2012 ini. Jadi, memang konsernya hanya untuk bersenang-senang.

“Ini sih hanya untuk menyenangkan Swinging Friends aja, Lix,” kata Riko Prayitno. Satu kalimat yang cukup membuat justifikasi positif kenapa saya membela diri untuk ada di Bandung malam itu.

Saya tidak menginap karena memang lebih memilih untuk pulang ke rumah. Jadi setelah beramahtamah dengan sejumlah teman lama di lokasi konser, saya langsung menuju ke pool Xtrans di Cihampelas Bawah bersama Anis. Saya pulang dengan keberangkatan pukul 23.45, sementara Anis pulang dengan jadwal berikutnya pukul 01.45.

Celakanya, saya kena delay lagi. Akrab rasanya dengan kata ini. Ternyata ada kemacetan luar biasa di jalan tol beberapa jam sebelumnya. Itu membuat jadwal berantakan. Akhirnya bus baru tiba satu jam kemudian. Supir makan malam dulu sebentar, baru kemudian lanjut ke Jakarta lagi.

Dalam kondisi letih, sudah pasti pilihan terbaik adalah tidur. Saya memilih adegan itu untuk mengisi dua jam setengah perjalanan ke Jakarta. Rasanya, mulai gerbang tol Pasteur saya sudah terlelap. Bangun-bangun sudah di depan Mampang. Haha.

Untuk sebuah akhir pekan yang padat, boleh ya ceritanya? (pelukislangit)

 
1 Juli 2012
Rumah Kalibata, 18.47

Duduk di Cockpit Pesawat


Ini masih ada kaitannya dengan perjalanan ke Toulouse kemarin. Salah satu yang saya propose di dalam rencana kerja saya adalah kesempatan untuk melihat langsung proses take off dan landing pesawat. Lalu kemudian merekamnya

Kegiatan ini, mewajibkan saya untuk duduk di jump seat (kursi tambahan) yang ada di dalam cockpit. Tentu saja, ini pengalaman penting yang harus coba diwujudkan dengan segala upaya daya.

Beberapa belas bulan terakhir, saya punya kesempatan unik untuk berhubungan baik dengan industri penerbangan dan beberapa common sense di sini. Kesempatan ini membawa saya tertarik untuk mengetahui beberapa prosesnya dengan lebih mendalam.

Dunia ini isinya pergaulan akrab dengan teknologi super canggih. Jika selama ini saya hanya duduk anteng sebagai penumpang dengan berbagai macam kepentingan, mumpung ada peluang maka saya memberanikan diri untuk melangkah berkenalan lebih jauh.

Ide awalnya adalah untuk memberikan gambaran kepada orang banyak apa sih rasanya duduk di dalam cockpit pesawat ketika proses take off dan landing terjadi.

Tentu saja, kalau belum merasakannya, saya tidak bisa menggambarkannya. Di perjalanan pulang dari Toulouse kemarin, saya mendapatkan kesempatan untuk duduk di jump seat di sektor Kuala Lumpur – Singapura. Penerbangan yang pendek itu menjadi saksi pertama saya mendapatkan kesempatan ini.

Awalnya sudah barang tentu sedikit deg-degan. Apa rasanya melawan gravitasi di garda depan? Terbang di kursi penumpang saja kadang-kadang menguras energi walaupun sebenar-benarnya hanya duduk saja.

Proses menerbangankan yang dilakukan oleh dua orang penerbang di dalam cockpit juga lumayan menarik ternyata.

 

Untuk kamu yang membaca tulisan ini, sekedar gambaran, Airbus A320 yang dioperasikan oleh perusahaan tempat saya bekerja sudah menggunakan teknologi Fly by Wire. Untuk penjelasan lengkapnya bisa dibaca di sini: http://en.wikipedia.org/wiki/Fly-by-wire.

Pada intinya, sudah tidak ada lagi stir kemudi yang berfungsi untuk mengendalikan pesawat. Semuanya diganti dengan sebuah joystick yang lebih berguna ketika landing dan take off terjadi. Sepanjang penerbangan, perhitungan yang kemudian disalurkan via kemampuan mesin lebih mengambil peranan. Begitu juga dengan sistem auto pilot yang sebenarnya lebih sering bekerja ketimbang proses menerbangankan pesawat dengan kemudi manual.

Yang utama harus dilakukan oleh penerbang adalah mengecek keadaan sekitar dan mengantisipasi apa yang ada di sepanjang perjalanan untuk kemudian menerjemahkannya via komunikasi dengan sistem yang mengendalikan mesin. Itulah kenapa ada pameo luas bertajuk, “Flying is safer than driving.”

Kembali ke kisah saya duduk di cockpit. Karena udara cerah dan begitu terang benderang, saya beruntung bisa menyaksikan alam raya memainkan perannya dengan menjembatani pergerakan manusia dari satu kota ke kota lainnya. Langit biru menjadi latar belakang yang indah untuk menemani saya menjalani pengalaman take off dan landing pertama dari moncong pesawat. Yang juga ajaib adalah perasaan yang muncul ketika pesawat menembus awan pekat yang menghasilkan turbulensi. Di situlah saya berasa kecil dan tidak berarti menghadapi alam raya. Well, diingatkan lagi sih lebih tepatnya.

Sebelum terbang, saya juga dibrief oleh dua orang penerbang yang sedang bertugas dengan sejumlah protokol keselamatan yang harus dilakukan jika misalnya saja kondisi darurat terjadi. Senang rasanya mengetahui bahwa saya ada di perusahaan yang mengagungkan keselamatan di atas segala-galanya. Cara mereka memberikan pengarahan merupakan cerminan betapa proses ini dilakukan secara layak.

Setelah mengetahui seluruh protokol keselamatannya, siaplah saya melihat dari dekat apa yang terjadi. Ketika pesawat meluncur dengan cepat di runway dengan kecepatan minimal 300 km/ jam, saya mulai merasakan tekanan keras. Maklum, roda pesawat berada di bawah posisi saya duduk. Guncanganya agak kencang memang.

Sulit menjelaskan secara visual dan verbal apa yang saya alami sepanjang duduk di jump seat kemarin itu, tapi memang untuk orang yang punya ketertarikan terhadap dunia penerbangan dan kebetulan tidak berposisi sebagai penerbangan sehari-hari, yang model begini harus dirayakan. Lumayan keringat dinginlah kemarin itu.

Yang paling unik adalah pengecekan reguler yang dilakukan oleh salah satu penerbangan terhadap sejumlah kondisi pesawat. Bentuk manual check listnya seperti menu di restoran babi langganan saya dulu di Bandung; kertas A5 berlogo perusahaan yang dilaminating. Begitu juga dengan manual lapangan parkir di sejumlah airport tertentu yang memang sepertinya ditinggalkan di dalam pesawat supaya bisa mudah menjadi panduan untuk penerbangan.

Penerbang-penerbang itu rasanya bekerja dalam lingkungan yang menyenangkan selain tentunya selalu berada dalam tekanan fisik yang hadir dari alam raya. Menarik sih. Saya sih, dengan tidak berpikir dua kali, pasti akan mengiyakan kalau memang ada kesempatan seperti ini.

Setelah terbang 20 jam kemarin itu –total perjalanan semuanya dari Toulouse sampai tiba di Jakarta—, saya duduk di dalam bus yang sama dengan CEO perusahaan saya, Dharmadi. Ia bertanya pada saya, “Jadi, gimana rasanya duduk di jump seat? Ini pertama kan buat kamu, Felix?”

Sunggingan senyum menjawab semuanya, baru kemudian kalimat ini mengalir, “It was a life-changing experience, pak.” (pelukislangit)

QZ 7695 – 21 Mei 2012 & Rumah Kalibata – 22 Mei 2012

Pergi ke Toulouse

Setahun berlalu. Saya ada lagi di angkasa, menjalani sebuah perjalanan penting dalam potongan hidup saya bersama AirAsia. Saat ini, saya menumpang sebuah perjalanan Ferry Flight pesawat terbaru AirAsia Indonesia dari Toulouse di Prancis ke Jakarta.

Penerbangan ini adalah perjalanan panjang yang harus ditempuh dengan pesawat berkelas jarak pendek. Tentu saja, karena masalah jarak, harus berhenti di beberapa tempat. Rute yang diambil adalah Toulouse – Dubai – KL – Singapura – Jakarta. Total perjalanannya sekitar 16 jam, lebih lama beberapa jam ketimbang penerbangan dengan menggunakan pesawat komersil.

Lagi-lagi, ini sejarah seperti sudah tertulis di atas. Kenapa? Bulan Mei ini, tepatnya tanggal 13, saya genap dua bulan bergabung dengan AirAsia. Kalau tahun lalu saya merayakannya dengan perjalanan ke Seoul, maka kali ini alam raya membawa saya menjelajah angkasa dengan rute yang tidak main-main; saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Toulouse, rumah perusahaan Airbus yang menjadi supplier pesawat AirAsia.

Tidak semua pegawai perusahaan ini punya kesempatan seperti saya, untuk itu rasa syukur harus dipanjatkan setinggi-tingginya.

Pergi ke Toulouse ini erat kaitannya dengan pekerjaan. Saya berkesempatan untuk membuat sebuah coverage khas bin unik yang mungkin belum pernah dicoba oleh maskapai penerbangan di manapun. Perusahaan mendukung saya untuk melakukan itu dan tentu memberikan kesempatan langka untuk masuk ke dapur yang belum pernah saya sentuh sebelumnya.

Tantangannya besar, begitu besar bahkan. Di tengah-tengah kepergian saya ke Prancis, ada sebuah program promo besar yang berlangsung di tanah air. Sudah gitu, treatment terhadap promo itu pun harus ekstra hati-hati karena memang berlangsung di tengah akhir pekan super panjang yang membuat kebanyakan pelanggan cenderung malas untuk melakukan transaksi.

Ini belum pernah terjadi sebelumnya dan saya bersyukur sekali lagi bisa mengendalikan pekerjaan saya dengan cukup ideal sembari berkeliling untuk membuat cerita baru yang akan tayang bulan depan.

Ok, tapi mari bicara yang lain. Cerita tentang pekerjaan agak membosankan. Perjalanan ini membawa saya ke sebuah ranah baru, sebuah ikatan yang sulit dijelaskan dengan akal sehat bersama konspirasi alam bernama takdir dan kesempatan.

Saya tidak punya rencana untuk mengunjungi Eropa tahun ini. Setelah perjalanan sakral ke tanah Inggris tahun lalu, saya memang tidak punya rencana untuk kembali ke benua ini.

Karena urusan bisnis, sudah pasti ekspektasinya beda. Saya bukan turis yang akan punya kesempatan mengunjungi banyak tempat dan merekam banyak kejadian menarik di tengah-tengahnya. Yang akan kejadian adalah bagaimana saya menyelesaikan seluruh rencana yang sudah disusun di Jakarta dan mengubahnya menjadi hal nyata yang bisa dibagi ke orang banyak.

Ekspektasi yang rendah ini pada akhirnya membuat saya jadi sedikit lebih loose menjalani perjalanannya dan malah membiarkan berbagai macam pengalaman seru masuk tanpa diminta.

Ketertarikan saya terhadap dunia penerbangan menjadi semakin besar setelah masuk ke sarang raksasa dan mendapatkan layanan kelas satu di banyak lengan potongan waktunya.

Saya bersetubuh dengan Paris yang sangat dinamis, sarapan di Champ Ellyses yang terkenal itu, mengunjungi halaman Museum Louvre, melakukan tanda salib di Katedral Notre Dame dan terbang dengan Air France ke Toulouse dengan status VIP di boarding pass saya.

Lalu, kota Toulouse juga memberikan impresi yang paling manis ketika saya menemukan diri saya tersesat di belantara betonnya demi menjadi jalan ke Toulouse Stadium hanya untuk membeli jersey Toulouse FC yang identik untuk saya dan Dylan, adik saya.

Perjalanan itu dilakukan dengan sepeda, anyway. Termasuk romantika berjalan di sebelah kanan dengan segala macam kekikukannya dan sejumlah adegan salah pilih rute. Cerita mendetail ada di bagian bawah tulisan ini.

Pada dasarnya, ada banyak hal baru mampir ke dalam diri saya. Kalau ditanya apa yang paling berkesan, maka saya harus memilih perjalanan ke kompleks Airbus di kawasan bandara Toulouse Blagnac.

Sedari awal, saya sudah menempatkan diri dalam posisi super beruntung; bisa merasakan perjalanan ‘A Money Can’t Buy Tour’ dengan melihat beberapa kawasan tertutup di dalam kompleks itu. Yang paling penting adalah mengunjungi hanggar Airbus Beluga, pesawat internal Airbus. Tur ini tidak dijual untuk umum dan hanya klien pembeli pesawat Airbus saja yang dapat kesempatan untuk mengunjungi sejumlah FAL (Final Assembly Line/ Pusat Perakitan Final Pesawat).

Biasanya, yang wajib dikunjungi adalah FAL Airbus A320 dan Airbus A380. Tapi saya dan orang-orang lain di dalam rombongan kemarin itu beruntung, kami bisa mengunjungi hanggar Airbus Beluga sebagai bonus tambahan.

Airbus Beluga adalah pesawat hasil modifikasi yang konsepnya diambil dari Ikan Paus Beluga. Pesawat ini berfungsi untuk mengangkut bagian-bagian pesawat dan memindahkannya dari satu pabrik ke pabrik yang lain. Kebanyakan rutenya adalah Toulouse-Hamburg.

Airbus Beluga dibangun dengan menggunakan teknologi Airbus A300-600 yang sudah lumayan berumur. Jumlahnya hanya lima buah dan semuanya dinomori berurutan, dibuat masing-masing pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999 dan 2001.

Saya bersama rombongan kantor berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke hanggar, melihat dari dekat proses unloading partikel pesawat dan masuk ke dalam kompartemen kargonya. Itu pengalaman yang luar biasa hebat. Alam raya memang hebat dan membiarkan saya melihat dari dekat salah satu karyanya.

Bersama dengan Baskoro Adiwiyono, salah satu rekan perjalanan kemarin itu, kami bahkan dengan sombongnya bisa membanggakan apa yang baru saja kami lihat itu sebagai pengalaman yang luar biasa dan berkategori spesial. “Wah, kita bisa bilang sama orang kantor kalau kita sudah pernah masuk ke dalam Beluga nih, Bas,” celoteh saya padanya. Tentu saja, bukan sombong dalam arti sebenarnya. Tapi lebih kepada berkelakar saja.

Beluga menampilkan wajah yang begitu indah. “Tapi, pesawat ini akan segera masuk kandang dan pension,” terang salah seorang pegawai Airbus yang menemani kami berkeliling.

Seperti sudah diutarakan di atas, pesawat ini sudah masuk kategori kuno dan usianya sudah lumayan tua. Wajar jika ia sudah akan pensiun.

Lalu, sudut-sudut Toulouse juga menghadirkan kenangan mendalam tentang sisi Eropa yang humanis. Ini kota Eropa kelima yang saya kunjungi dan ia merupakan kota paling laid back dari semuanya. Bahkan Liverpool yang santai bin keras pun lewat sisi laid backnya dari Toulouse.

Kotanya bisa dibilang kecil. Yang membuat kota ini hidup adalah industri penerbangan. Ada beberapa pabrikan pesawat yang menjadikannya rumah. Yang paling besar, tentu saja Airbus.

Airbus memperkerjakan ribuang orang yang kemudian menjadi Toulouse rumah mereka. Mengadu nasib adalah cerita klise yang bisa ditemukan di hidup orang-orang yang tinggal di kota ini. Berbagai macam disiplin ilmu juga mampir berkunjung di sini.

Kalau bicara kota, cara terbaik menyusurinya (masih) adalah dengan mengambil peta umum lalu berkeliling sendiri. Kebetulan, moda transportasi yang ada di hadapan saya kemarin itu adalah sepeda. Seperti Paris, Toulouse juga punya sistem sepeda umum yang bagus.

Yang diperlukan hanya sekedar menggesek kartu kredit dengan sejumlah garansi uang yang akan kembali kalau sepeda dikembalikan dalam bentuk yang baik-baik saja. Pemakaian di bawah tiga puluh menit tidak dikenakan biaya. Kalau lebih dari itu pun, biayanya cenderung bersahabat.

Jadi, yang banyak dilakukan orang adalah dengan mengambil sebuah sepeda lalu menjelang tiga puluh menit, meletakkannya kembali di stasiun terdekat untuk kemudian mengambil sepeda yang lain. Berkeliling dengan metode ini lumayan seru, mungkin karena kotanya juga tidak besar.

Rute paling jauh saya kemarin itu adalah menemukan Stade de Toulouse yang menjadi kandang klub Ligue 1, FC Toulouse. Kalau melihat peta city center, stadion ini ada di lingkaran luar kota. Agak jauh, tapi memang layak dikejar.

Stade de Toulouse menjadi salah satu tempat penyelenggaraan Piala Dunia 1998, waktu di mana Prancis berjaya dengan kuintet lapangan tengah yang mungkin jadi salah satu yang terbaik sepanjang masa; kapten Didier Deschamps, Patrick Vieira, Emmanuel Petit, Youri Djorkaeff dan tentu saja sang maestro Zinedine Zidane.

Misi saya selain melihat dari dekat bentuk stadionnya seperti apa, juga adalah untuk mengunjungi toko resmi FC Toulouse yang terdapat di salah satu sudutnya. Saya ingin mencari jersey klub ini. Kebetulan musim sudah berakhir dan jersey mereka sudah diobral.

Ternyata, Toulouse juga punya scene musik yang bagus. Karena kota ini juga merupakan kota pelajar, maka hidup berkesenian hidup dengan sumringah. Di salah satu malam bahkan, ada Charlotte Gainsbourg bermain. Sayang, ia bermain di luar kota dan tidak ada akses kendaraan umum di tengah malam yang membuat saya mengurungkan niat untuk menyaksikan konsernya.

Yang paling banter bisa saya lakukan adalah berkeliling ke sejumlah toko rekaman yang berserakan di sekitar city center. Konon, kualitas rekaman di Prancis, hampir sama dengan apa yang dimiliki Inggris. Ada banyak spot yang menjadi surga bagi penikmat musik seperti saya. Karena keterbatasan waktu, saya hanya menyempatkan waktu untuk mengunjungi lima buah toko rekaman. Tidak bisa lebih, padahal masih ada sejumlah toko lain yang direkomendasikan oleh orang-orang yang saya temui di kota-kota itu.

Rata-rata orang yang saya temui menyambut hangat kedatangan saya. Begitu juga keinginan mereka untuk berbicara dan bertukar informasi. Ini pertanda bahwa mereka ramah terhadap orang asing. Seorang penjaga toko bahkan tidak sungkan untuk memberikan rekomendasi toko lain yang harus dikunjungi yang juga berarti mempromosikan toko lain yang menjadi saingannya. Bisnis seperti menjadi fakta nomor dua yang harus dilakoni sementara yang utama adalah bagaimana berbagi rasa dengan orang-orang seperti saya yang datang berkunjung.

Beberapa toko mengingatkan saya akan Manchester yang semarak untuk urusan rekaman. Hanya saja mungkin kota ini tidak punya banyak artis lokal yang bisa membawa Toulouse ke pentas dunia sebagaimana halnya Ian Brown, Morrissey dan Noel Gallagher membawa Manchester ke posisi itu.

Rekaman yang saya bawa pulang pun tidak sebanyak Manchester, tapi beberapa rekaman itu cukup personal dan cukup berarti untuk saya bawa pulang ke Jakarta. Dua yang paling penting adalah edisi cetak ulang OST. Into the Wild yang menampilkan Eddie Vedder lengkap dengan catatan Sean Penn di liner notesnya dan album pertama Brian Adams yang mencantumkan single Summer of ’69 favorit saya.

Cerita lengkapnya bisa dicek akhir minggu ini di The Jakarta Post. Saya akan menulis petualangan berburu rekaman di Toulouse. Akan diupdate di sini kalau sudah terbit.

Audrey Progastama, juga rekan kerja di AirAsia bilang di salah satu bagian perjalanan pulang nan panjang kami ke tanah Jakarta, “It’s probably your first and surely not the last one, pak.”

Mungkin. Toulouse menyenangkan selalu berharap bisa kembali ke sana. Kalau mau lihat apa yang saya hasilkan, silakan lihat sepanjang bulan Juni di halaman social media kantor saya. (pelukislangit)

 

Ditulis maraton dalam beberapa sesi:
1. AWQ5175, Toulouse-Dubai-KL-Singapura, 18 Mei 2012
2. Rumah Kalibata, 19 Mei 2012
3. QZ7690, Jakarta-KL, 21 Mei 2012
4. QZ7695, KL-Jakarta, 21 Mei 2012

Meeting dengan Tony Fernandes

Sulit untuk menolak godaan diri menuliskan cerita hebat yang mampir ke dalam hidup saya kemarin. Tidak ada rencana, tidak ada pikiran sama sekali, tapi meninggalkan kesan mendalam.

Pagi saya rasanya berjalan sedikit awal kemarin, Kamis, 5 April 2012. Saya punya janji dengan rekan kerja di kantor untuk sebuah selebrasi perusahaan. Kami mengakhiri sebuah fase hubungan harmonis bersama sejumlah pesawat tua. Bukan karena punya masalah atau apa. Tapi memang karena hubungannya sudah kadaluarsa. Si pesawat sudah terlalu tua dan cenderung menjadi beban ketimbang aset yang menguntungkan.

Di tengah perayaan, ketika sibuk mengambil gambar, seorang kolega memanggil. “Lix, ayo ikut ke ASEAN Office, dipanggil Tony,” ujarnya.

Waduh! Itu perintah yang tidak bisa ditawar rasanya. Keharusan sekaligus kebingungan yang melanda.

Setelah mengambil barang-barang yang masih tertinggal di meja kerja saya, segeralah saya meluncur bersama dua orang teman lain yang juga dipanggil ke tengah kota. Kami tiba sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Ternyata, agenda beliau mundur. Ada beberapa urusan lain yang harus diselesaikan terlebih dulu sebelum sesi Commercial Team –tim saya— dimulai. Meeting terjadi di ASEAN Office AirAsia yang terletak di Equity Tower.

Di awal pekan, saya juga punya meeting lain di kantor yang indahnya minta ampun itu. Dari ketinggian gedung, kita bisa dengan mudah melihat Stadion Gelora Bung Karno atau betapa hopelessnya Jakarta karena isinya sepanjang mata memandang di sebuah sore, isinya hanya deretan mobil yang memenuhi setiap ruas yang bisa dipenuhi dari ketinggian.

Pemandangan model begitu, biasanya hanya enak dilihat di awal. Selepasnya sudah membosankan karena memang sebenarnya tidak enak dilihat. Terlebih ketika harus membayangkan apa perasaan orang yang menjalani kemacetan itu.

Well, anyway, ketika mendung merangsek, giliran kami tiba. Tony menyelesaikan sesi meeting sebelumnya dan memanggil Commercial Team.

“Jadi, berapa lama waktu yang saya punya?” tanyanya langsung kepada Dharmadi, CEO kami yang juga ada di dalam ruangan dan menemani.

“Kamu harus cabut dari sini pukul 5.30,” kata Dharmadi. Tony harus mengejar penerbangan pukul 20.00 untuk kembali ke Kuala Lumpur. Jalanan Jakarta, selalu kejam di awalan akhir pekan. Terlebih jika waktu itu maju sehari. Bandara akan super padat dengan mereka yang mencoba untuk merangkai perjalanan liburan untuk beberapa hari.

“Ok, mari kita mulai,” kata Tony.

Dia mengawali dengan sejumlah urusan professional yang tentunya tidak akan saya tuliskan di sini. Maklum, bukan konsumsi orang banyak. Hehe.

Yang menarik, seperti biasa, Tony Fernandes adalah orang yang suka bercanda. Banyak candaannya yang membuat suasana cair dan seolah meruntuhkan rasa gugup beberapa orang yang baru pertama kali ada di dalam meeting bersama dia.

Saya sendiri, sudah beberapa kali bertemu dengannya. Tapi, baru sekali ini duduk di dalam meeting dan membahas urusan pekerjaan.

Yang tidak ketinggalan adalah urusan sepakbola. Ia membongkar rencana besarnya yang akan diumumkan ke publik. Bukan tentang siapa yang akan dibelinya musim depan atau bahkan tentang bagaimana QPR akan bertahan musim ini di EPL.

“Hidup saya selalu tentang bagaimana membangun sebuah hal. Saya menyukai prosesnya,” katanya.

Itu kenapa ia memilih untuk membeli QPR dan bukan Manchester United. “Saya tidak punya uang untuk membeli Manchester United,” celotehnya yang tentu saja disikapi dengan tawa sambutan seluruh ruangan.

“Tapi saya sedang membangun fasilitas latihan, stadion baru, dan banyak hal baru untuk QPR. Coba kamu lihat, beberapa bulan terakhir ini, siapa yang akhirnya jadi tahu bahwa ada klub namanya QPR?” tanyanya balik.

Ia benar. Saya adalah penggemar sepakbola. Saya tahu QPR itu apa. Tapi, beberapa teman saya yang ada di ruangan meeting itu awalnya bingung tentang apa itu QPR atau Queen’s Park Rangers.

“Kalau saya tertabrak bus besok, saya akan mati bahagia. Semua yang saya inginkan sejak kecil sudah terjadi,” katanya lagi.

“Dulu, waktu saya kecil, saya bilang sama ayah saya bahwa saya ingin memiliki sebuah perusahaan penerbangan. Tentu saja, ia mentertawai saya. Tapi sayang dia tidak melihat ini semua sekarang. Hidup saya isinya selalu bagaimana menjadi orang yang diremehkan. Tapi itulah senjatanya,” lanjutnya panjang lebar.

Terlepas dari material meeting yang memang menarik untuk ditunggu dan dijalani, perjumpaan dengan Tony kemarin itu dalam kapasitas professional, benar-benar membawa pengalaman baru untuk saya. Kata-katanya adalah senjata.

“Berapa sih saya bisa bayar kamu? Tapi ketika 10 tahun dari sekarang kamu menengok ke masa lalu dan bilang sama diri kamu, ‘Ah, saya terlibat di dalam revolusi itu’. Itu tidak bisa dibeli dengan uang, bukan?”

Lagi-lagi ia benar. Perjalanan saya sejauh ini menarik. Dan ada di dalam kapal yang sama dengannya, sungguhlah menyenangkan. Beberapa detik pertama meeting itu, sejujurnya, saya mencoba untuk mencubit diri sendiri untuk meyakinkan bahwa saya berdiskusi bisnis dengannya. Aha!

Sekali lagi, tidak pernah membayangkan ada di titik ini. Semoga kami bisa lebih menancapkan kuku dan mencapai apa yang menjadi keinginan sang jendral. Terima kasih, Tony! Sampai jumpa di kali berikut. (pelukislangit)

Kalibata City
6 April 2012
*Ketika masih senyum-senyum memandangi gambar di sini*

Dari Malam yang Panjang – Tentang Indonesia yang Ringsek

Saat ini waktu menunjukkan pukul 01.07 pagi. Ini dini hari. Biasanya, saya sudah terlelap. Tapi, malam ini pikiran berat mampir ke dalam kepala dan hidup yang telah larut ini. Kekecewaan mengambil tempat yang sempurna untuk menyerang dan memaksa saya untuk terus terjaga.

Saya adalah seorang beramunisi kecil yang nyaris tidak mungkin mengubah rasa kecewa ini. Yang bisa saya lakukan adalah menunggu dan membiarkan hari ini berlalu untuk kemudian sebisa mungkin dilupakan seolah ia tidak pernah terjadi.

Tim nasional Indonesia baru saja kalah 10-0 dari Bahrain. Pertandingan terjadi di kandang Bahrain. Itu adalah pertandingan terakhir di Kualifikasi Piala Dunia 2014 di Brasil.

Sedari awal, saya memang sudah berhasil mengatur ekspektasi. Omong kosonglah kalau kita pada akhirnya bisa lolos ke Brasil. Nyaris tidak mustahil. Kelas kita sebagai sebuah tim sepakbola, belum sampai level piala dunia.

Empat pertandingan pertama saya ikuti. Termasuk menyaksikan dua laga di kandang sendiri –melawan Qatar dan Bahrain— langsung di Gelora Bung Karno. Pertandingan away melawan Iran dan Qatar saya saksikan lewat layar internet dan kaca.

Laga kelima adalah protes personal untuk saya ketika lebih memilih untuk berada di Hotel Sultan menunggu Titus Bonai untuk sebuah agenda jurnalistik. Laga melawan Iran itu sudah tidak menentukan lagi dan saya kadung sudah kecewa sama kelakukan Wim Rijsbergen –pelatih Indonesia saat itu— yang bodohnya minta ampun.

Dan sejujurnya, tidak ada harapan menggantung lagi ketika laga keenam dimainkan beberapa jam yang lalu.

Pada saat daftar pemain inti beredar di dunia maya, saya sudah kehilangan selera. Sudah bisa menebak bahwa kans Indonesia untuk bahkan mencuri satu poin saja pun sulit.

Yang dimainkan adalah pemain-pemain asal kompetisi legal versi PSSI, Indonesian Premier League (IPL). Banyak pemain melakukan debut mereka pada kesempatan ini.

Pro dan kontra menyeruak masuk. Yang kontra tentu saja menyayangkan kenapa pemain yang bermain di Indonesian Super League (ISL) dipanggil. Padahal, secara nyata mereka adalah anak-anak terbaik bangsa ini untuk urusan sepakbola. Yang pro berlindung pada asas legalitas yang mengatasnamakan pembinaan.

Saya ada di pihak yang kontra.

Buat saya, walaupun secara hitungan Indonesia sudah tidak lolos lagi ke fase berikutnya, tapi tetap ada harga diri yang harus dijaga. Apapun hasilnya, kita harus masuk ke lapangan dengan status yang prima.’

Tapi kenyataan tidak semanis normal ideal yang saya pegang. PSSI sebagai otoritas tertinggi sepakbola Indonesia, memutuskan untuk mengirimkan pemain yang berlaga di IPL. Pemain yang main di ISL tidak dianggap ada.

Mereka berlindung pada aturan FIFA yang terjemahannya juga masih ambigu. Intinya menurut mereka, pemain-pemain yang ada di ISL tidak punya hak untuk mewakili Indonesia di pertandingan keenam Kualifikasi Piala Dunia 2014 ini.

Jadilah nama seperti Aditya Putra Dewa atau Slamet Nurcahyo masuk ke dalam jajaran pemain inti. Tahu mereka berasal dari mana? Hehe. Nama pertama berasal dari PSM Makassar sementara yang kedua berasal dari Persiba Bantul.

Satu-satunya yang saya syukuri masuk adalah salah seorang bek kanan favorit saya, Hengky Ardilles dari Semen Padang. Kebetulan timnya bermain di IPL musim ini.

Nama-nama itu jelas punya beban berat. Mereka tidak salah. Mereka hanya ada di saat yang tidak tepat. Dan secara kualitas pun, ada beberapa yang belum layak masuk tim nasional.

Intinya, ini bukan tim terbaik yang dimiliki oleh Indonesia.

Wim Rijsbergen yang bodoh itu, juga sudah didepak dari tampuk pelatih kepala. Ia sekarang hanya menjabat sebagai direktur teknik yang mungkin kerjaannya tidak jelas. Mungkin hanya menghabiskan sisa kontrak ketimbang dibayar gaji buta tapi tidak melakukan apa-apa.

Aji Santoso juga ada di tempat yang salah. Ia, yang ditunjuk sebagai caretaker, tidak bisa berbuat banyak dengan pilihan yang tidak banyak.

Jadwal yang sudah disusun sejak jauh hari pun seolah menjadi hal yang terlupakan. Jeda antara pertandingan kelima dan keenam lumayan panjang. Tapi persiapan yang dilakukan oleh tim nasional hanya beberapa pekan dengan lawan ujicoba yang tidak berkelas. Itu juga kalah.

Intinya juga, persiapan tidak bagus.

Tapi 10-0 adalah hasil yang tidak bisa diterima akal sehat. Saya jadi membayangkan, inikah rasanya jadi orang Kamboja yang pernah kena bantai oleh Indonesia lebih dari satu dekade yang lalu?

“Oh, ini toh rasanya kena bantai 10-0?” ujar saya dalam hati. Rasanya, kalau boleh diterjemahkan, sungguhlah tidak enak.

Saya sudah mengambil sikap yang jelas, menurut saya yang jadi masalah adalah gonjang-ganjing di level atas.

Pemecatan Alfred Riedl tanpa sebab yang jelas adalah awalnya. Memang, Riedl belum membawa prestasi, tapi ia meletakkan sepakbola yang membuat orang kepincut, sepakbola yang menghibur.

Lalu datanglah penggantinya, si bule bodoh yang kebetulan masih punya kontrak dengan konsorsium LPI bernama Wim Rijsbergen. Kebodohannya jelas sudah tidak perlu dijabarkan lagi.

Selanjutnya, masalah pemain yang tidak bisa dipilih karena bermain di liga ilegal yang penontonnya ternyata lebih banyak ketimbang yang resmi.

Tiga runutan peristiwa ini, jelas harus dibebankan kemana. Rezim Djohar Arifin ada di belakang tiga keputusan penting ini. Mau dicari apapun alasannya, mereka yang mengambil keputusan dan fakta membuktikan bahwa semuanya salah. Semuanya tidak memberikan solusi yang membawa keadaan menjadi lebih baik.

Bukan masalah saya tidak sabar atau tidak. Bukan masalah juga ini adalah proses instan atau tidak. Yang jadi masalah, kesalahan fatal tiga kali berulang itu sudah tidak bisa diterima.

Kalau anda bekerja di dalam sebuah perusahaan, melakukan kesalahan fatal tiga kali, itu ganjarannya SP3, alias dipecat.

Hanya beberapa jam setelah kejadian memalukan ini terjadi, apa yang kemudian terjadi?

Lewat beberapa media, di tengah malam ini, saya memantau bahwa petinggi PSSI yang berurusan dengan tim nasional, cenderung mengambil posisi menyalahkan wasit.

Ada yang bilang bahwa pertandingan tadi dirusak oleh wasit. Ada yang bilang bahwa Samsidar dan Aji Santoso tidak perlu dikartu merah. Ada yang bilang bahwa kita dikerjai di kandang lawan.

Tapi, apa fakta yang ada di lapangan?

Digelontor sepuluh gol tanpa balas adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dibantah atau dijadikan perdebatan dari sisi apapun. Coba anda hitung sendiri satu sampai sepuluh. Ada berapa fase yang harus dilalui?

Penampilan sekumpulan orang yang mengatasnamakan Indonesia di lapangan tadi, benar-benar jelek. Mereka, memang, hanya pion. Sutradaranya yang buruk.

Ibarat sebuah pertandingan, Indonesia sudah jauh kalah telak sebelum bermain. Keadaan di lapangan memperburuk semuanya. Lalu, kenapa masih harus menyalahkan orang lain ketika semua pendukungnya tahu dengan persis bahwa masalah ada di dalam diri sendiri?

Tidak ada yang bisa dibenarkan dari keadaan yang tadi terjadi. Secara absolut, kita jelek. Dan kita kehilangan harga diri di kandang lawan.

Persetan dengan pembinaan, persetan dengan menegakkan aturan. Persetan dengan wasit yang berat sebelah. Dan persetan dengan kamu yang hanya mencari alasan.

Saya lelah dengan keadaan ini di mana elite politiknya malah meminggirkan apa yang ada di luar lapangan ketimbang yang ada di dalam. Rasanya, jutaan orang di luar sana juga punya pendapat yang sama.

Ada yang salah ketika kamu masih terbangun di dini hari memikirkan bagaimana rasanya hidup dengan kekalahan 10-0 di dalam rekor.

Tadi saya sempat bilang bahwa ini lebih memalukan dari kejadian sepakbola gajah buatan Mursyid Effendi dan kawan-kawan tahun 1998 yang lalu. Itu emosi, tapi bisa saja benar.

Ini malam yang panjang. Saya tidak akan dengan mudah melupakan ini. Semoga rezim yang sekarang mampus semampus-mampusnya. (pelukislangit)

 

Kalibata City
02.02
1 Maret 2012
Kepada Indonesia yang ribet